tag:blogger.com,1999:blog-63178582953056386932024-02-06T18:40:46.313-08:00Dedek CeriaJika Kau Ingin Mengenal ku, Maka Kenallah Aku Karena Tuhan mu...Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.comBlogger93125tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-68905037101700160822011-02-13T04:23:00.000-08:002011-02-13T04:23:27.562-08:00Hukum Merayakan Hari Valentine<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXqPTi34HDlPAc2KdzJp6m1rDjcaYkOCATPQdnviOKkndtKCeGH4-8j90dT7GSAdMmIR9PUZtkXFOnh2pD0TuAKdTUrLVVa9REMzZoII1PL7si1mVfHsApLCZQrLBQQffwA8yt4Z6GlQQ/s1600/index.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXqPTi34HDlPAc2KdzJp6m1rDjcaYkOCATPQdnviOKkndtKCeGH4-8j90dT7GSAdMmIR9PUZtkXFOnh2pD0TuAKdTUrLVVa9REMzZoII1PL7si1mVfHsApLCZQrLBQQffwA8yt4Z6GlQQ/s1600/index.jpeg" /></a></div><br />
<span style="color: #003300;">Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: <i>“Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.”</i> (HR. At-Tirmidzi).</span><br />
<span style="color: #003300;">Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir. Adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.” </span><span id="more-87"></span><br />
<span style="color: #003300;"><br />
Abu Waqid Radhiallaahu anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah n berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).</span><br />
<span style="color: #003300;">Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan :<br />
“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena: Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam. Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya.</span><br />
<span style="color: #003300;">Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”<br />
Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.</span><br />
<span style="color: #003300;">Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,<br />
<i>“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”</i> (Al-Fatihah:6-7)<br />
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.</span><br />
<span style="color: #003300;">Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:<br />
<i>“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”</i> (Al-Maidah:51)<br />
<i>“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.”</i> (Al-Mujadilah: 22)</span><br />
<span style="color: #003300;">Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.<br />
Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.</span><br />
<span style="color: #003300;">Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.</span><br />
<span style="color: #003300;">Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.</span><br />
<span style="color: #003300;">Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan:<br />
<i>“Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.”</i> (Al-Hadits). </span>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-8741537614352527152011-01-26T05:11:00.000-08:002011-01-26T05:11:08.408-08:00Sumber Ketentraman Suami Istri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAh7bR54LT-2e_h8FmTE11bQV6jt1NMpzsn5B_tmgsGSkWQcmOrCWTmBkTXzfCC8Un_SzpVZf-B1EL7hin-4cGII2h6yn-OScKhUqO0e-5o8KeKAsCzRPJbhIfxrwVdCH82fvngQSWEG8/s1600/suami-istri-pengantin-250x205.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAh7bR54LT-2e_h8FmTE11bQV6jt1NMpzsn5B_tmgsGSkWQcmOrCWTmBkTXzfCC8Un_SzpVZf-B1EL7hin-4cGII2h6yn-OScKhUqO0e-5o8KeKAsCzRPJbhIfxrwVdCH82fvngQSWEG8/s1600/suami-istri-pengantin-250x205.jpg" /></a></div><br />
Allah swt. berfirman: <br />
<div class="arabic" style="text-align: right;">أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ</div>Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (QS. Al-Baqoroh [2]:187)<br />
Ayat tersebut di atas adalah ayat populer yang sering dibaca, dikutip dan dikaji ketika akan datang dan selama bulan Ramadhan. Ayat tersebut menerangkan tentang beberapa aturan ketika berada di bulan Ramadhan. Salah satu aturan tersebut adalah dihalalkannya seorang suami melakukan hubungan badan dengan istrinya kapanpun di sepanjang malam hingga terbit fajar. Sebelum ayat ini turun, batas akhir boleh menggauli istri adalah masuk waktu Isya’ atau saat tidur sebelum masuk waktu Isya’. Tentu ini sangat berat bagi para sahabat Rasulullah, dan tentu juga bagi siapa saja. Oleh karena itu Allah swt. menurunkan ayat tersebut.<br />
Yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah kata “Libas” yang tersebut dalam ayat tersebut. Dalam ayat tersebut Allah swt. menyebut bahwa suami adalah Libas bagi istrinya dan istri juga adalah Libas bagi suaminya. Kata “Libas” mempunyai arti penutup tubuh (pakaian), pergaulan, ketenangan, ketentraman, kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan.<br />
<strong>Penutup Aib dan Perhiasan</strong><br />
Fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat tubuh (lihat QS.7:26). Suami istri adalah pakaian bagi pasangannya. Dengan demikian, suami istri adalah penutup “aurat” (baca: aib) bagi pasangannya. Fungsi pakaian juga sebagai perhiasan (lihat QS.7:26). Perhiasan adalah sesuatu yang indah dan berharga. Dengan memiliki dan atau memandang perhiasan mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Suami adalah perhiasan bagi istrinya dan istri adalah perhiasan bagi suami. Suami indah dilihat istri dan juga sebaliknya. Suami merasa berharga bagi istrinya, dan pada saat yang sama suami menghargai istrinya. Demikian pula sebaliknya.<br />
Allah berfirman yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran [3]:14)<br />
<strong>Sumber Ketrentraman dan Kesenangan</strong><br />
Suami adalah sumber ketentraman bagi istrinya. Istri juga adalah sumber ketentraman bagi suaminya. Masing-masing merasa tentram dengan adanya pasangan dan dari pasangannya. Serta masing-masing berusaha membuat tentram pasangannya.<br />
Allah berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Ruum [30]:21)<br />
<strong>Suami adalah sumber kesenangan bagi istri. Begitu juga istri adalah sumber kesenangan bagi suami.</strong><br />
Allah berfirman yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran[3]:14)<br />
Allah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Furqaan [25]:74)<br />
Di dalam kedua ayat tersebut, Allah swt. berfirman dengan menyebutkan kata “wanita” dan “istri” saja, tidak menyebutkan kata “pria” dan “suami”. Seolah-olah dua ayat tersebut hanya ditujukan dan berlaku untuk pria dan suami. Meskipun kata “pria” dan “suami” tidak disebutkan, kedua ayat di atas juga ditujukan dan berlaku bagi para wanita dan istri, sehingga bisa dipahami juga sebagai berikut:<br />
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: pria-pria ….”<br />
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami suami-suami kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)…”<br />
Suami merasa senang, gembira, puas, bahagia dan nikmat terhadap istrinya dari sikap, perilaku, kata-kata, ekspresi, penampilan dan pelayanan istrinya ketika berhubungan dengan istrinya dalam segala aktivitas sehari-hari. Pada saat yang sama suami juga harus membuat istrinya merasa senang, gembira, puas, bahagia dan nikmat terhadap dirinya dari sikap, perilaku, kata-kata, ekspresi, penampilan dan pelayanannya dalam setiap kesempatan dan aktivitas rumah tangga (bukan hanya ketika membutuhkannya saja dan bukan hanya ketika di atas ranjang saja). Demikian juga sebaliknya, istri merasakan hal yang sama terhadap suaminya dan berbuat hal yang sama kepada suaminya.<br />
<strong>10 Tips Sukses Menjadi Libas bagi Pasangan</strong><br />
1.Selalu mendengar dengan segenap dan setulus hati setiap kata yang diekspresikan oleh pasangan.<br />
2.Selalu ramah, mesra, bermuka manis dan tersenyum di hadapan pasangan.<br />
3.Berdandan, berpenampilan rapi dan berbau harum untuk pasangannya baik ketika berada di dalam maupun di luar rumah. Bukan istri saja yang wajib melakukan ini, namun suami juga harus mewajibkan dirinya.<br />
4.Menenangkan hati pasangan ketika dia merasa emosional dan ketika menghadapi ketegangan, kecemasan dan ketakutan; dan menghibur hati pasangan ketika dia kecewa, bersedih hati, sakit hati dan sakit fisiknya<br />
5.Biasakan mengucapkan “4 Kata Ajaib: Terima kasih, Maaf, Permisi dan Tolong” kepada pasangan pada setiap saat dan kesempatan di mana kata-kata tersebut patut dan perlu untuk diucapkan.<br />
6.Melayani keperluan pasangan dengan senang dan ringan hati, ringan tangan, ringan kaki dan segera. Segera kerjakan jika dalam keadaan-keadaan yang memungkinkan. Malas dan ogah-ogahan bukan termasuk di dalamnya. Bukan istri saja yang harus melayani suami. Suami juga harus melayani istri meskipun istri tidak dalam keadaan darurat seperti sakit, mengandung dan melahirkan.<br />
7.Tanyakan kabar dan perasaan pasangan meskipun tidak sedang berjauhan.<br />
8.Ungkapkan rasa cinta dan kasih sayang anda kepada pasangan dengan sikap dan perilaku seperti bergandengan tangan ketika berjalan kaki bersama dan menciumnya meskipun ketika tidak ada dorongan nafsu, dengan kata-kata seperti “Aku cinta/sayang kamu”, dan dengan memanggilnya dengan nama panggilan yang indah serta dengan cara yang lemah lembut dan mesra.<br />
9.Memuaskan pasangan dalam berhubungan badan dengan melakukan segala hal yang diperlukannya sesuai dengan tuntunan Islam.<br />
10.Tidak menceritakan hubungan badan mereka kepada orang lain. Tidak menceritakan aib yang dimiliki pasangan berupa kekurangan, kelemahan, kesalahan dan hal-hal negatif lainnya kepada orang lain (kecuali kepada hakim ketika bersaksi di pengadilan, kepada dokter untuk tujuan pengobatan dan kepada kyai, ustadz, psikiater atau konsultan untuk tujuan konsultasi). Juga tidak mencari-cari, mengingat-ingat, serta mengungkit-ungkit atau menyebut aib yang dimiliki pasangan kepada pasangan.<br />
Jadilah Libas bagi pasangan (baca: suami atau istri) anda sesuai dengan tuntunan Allah swt. Untuk itu jadilah “Pengantin Baru” selama hayat masih dikandung badan karena mengharap dan demi menggapai ridho Allah swt. Lakukan tips di atas terus menerus meskipun sudah bukan pengantin baru lagi di mana pada saat-saat itu dalam hati sudah timbul rasa “biasa” dan tidak “luar biasa” terhadap pasangan dan kehidupan rumah tangga.<br />
Masa-masa ketika sudah tidak lagi menjadi pengantin baru adalah masa-masa ujian. Ini yang (memang) sulit dan berat. Dibutuhkan kemauan yang kuat dan perjuangan yang berat untuk selalu menjadi “Pengantin Baru”. Sangat wajar dan alami jika ketika awal-awal mencoba melakukan tips di atas terasa aneh, merasa canggung dan malu. Namun jika dibiasakan, lama-lama akan menjadi bisa, menjadi biasa dan menjadi kebiasaan. Lain halnya ketika masih menjadi pengantin baru terutama ketika masa bulan madu, tanpa diajari dan disuruhpun, hal tersebut bisa, mudah, ringan dan otomatis dilakukan.<br />
Wahai para suami! Wahai para istri! Sudahkah hari ini anda menjadi Libas bagi pasangan anda? Sudahkah hari ini anda berniat dan berkeinginan untuk menjadi Libas bagi belahan jiwa anda hingga nafas terakhir? Wahai para calon pengantin! Sudahkah hari ini anda berniat dan berkeinginan kelak akan menjadi Libas bagi pendamping hidup anda sejak malam pertama hingga malam terakhir (ketika maut menjemput)? Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pengantin lama, pengantin baru dan calon pengantin demi meraih kehidupan rumah tangga SAMARA (Sakinah Mawaddah wa Rahmah). Amin. Wallahu a’lam bishshowab.Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-40016738315784733092011-01-20T23:42:00.000-08:002011-01-20T23:44:02.337-08:00Romantisnya Rosulullah SAW<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1W-ljUg6PK7-QAb-_wm1lxNdea_R3Yf_QP5wcpEy2p71zH4Lm1ZFrvI2fjVm9trwuEKFEF2En6GUwevzjCrXzWMtJlSF4vFl1acHgZ0oLN_LM1L5SwusNHmPjkCqcRgOY7tmXndScgHc/s1600/nabi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1W-ljUg6PK7-QAb-_wm1lxNdea_R3Yf_QP5wcpEy2p71zH4Lm1ZFrvI2fjVm9trwuEKFEF2En6GUwevzjCrXzWMtJlSF4vFl1acHgZ0oLN_LM1L5SwusNHmPjkCqcRgOY7tmXndScgHc/s1600/nabi.jpg" /></a></div><br />
Buat para suami-suami, seringkali kita memperdebatkan dan memperbincangkan permasalahan yang berkaitan dengan kebahagiaan berumah tangga. <br />
Seorang bapak (suami), pernah bertanya dalam sebuah dialog interaktif konsultasi keluarga di sebuah situs Islam lokal, tentang bagaimana mendapatkan kasih sayang dan pengabdian istri. Dan yang tidak kalah ‘heboh’, tidak sedikit pertanyaan yang ujung-ujungnya ingin melakukan poligami dengan berbagai alasan tentunya.<br />
Poligami, jelas sangat diperbolehkan dan dicontohkan oleh baginda Rasul meski pun dalam tradisi dan budaya masyarakat kita, beristri lebih dari satu masih merupakan hal yang dianggap tidak lazim bahkan tabu. <br />
Namun sepertinya, ada hal yang sering terlupakan oleh para suami, sudahkah mencontoh Rasulullah dalam urusan romantisme berumahtangga? Sehingga Nabi SAW -karena romantismenya yang luar biasa terhadap para istri beliau- tidak pernah kita mendengar ada masalah yang besar dalam rumah tangga bersama para istrinya.<br />
Jadi, untuk sementara kesampingkan dulu masalah seperti ketidakbahagiaan beristri yang usianya lebih tua, rumahtangga tidak harmonis, sehingga memunculkan wacana yang saat ini sedang ngetrend; poligami.<br />
Padahal sesungguhnya jika kita mau merenunginya kembali, bisa jadi permasalahan utamanya sangat sederhana; kurang romantis!<br />
Mari kemudian kita cermati tauladan dari Rasulullah, manusia agung yang sangat romantis terhadap istri-istrinya sebelum kita bicarakan niat atau kemungkinan untuk berpoligami.<br />
Rasulullah SAW adalah contoh yang terbaik seorang suami yang mengamalkan sistem Poligami. Baginda Nabi sangat romantis kepada semua istrinya. <br />
Dalam satu kisah diceritakan, pada suatu hari istri-istri Rasul berkumpul ke hadapan suaminya dan bertanya, “Diantara istri-istri Rasul, siapakah yang paling disayangi?”. Rasulullah SAW hanya tersenyum lalu berkata, “Aku akan beritahukan kepada kalian nanti” <br />
Setelah itu, dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah memberikan sebuah kepada istri-istrinya masing-masing sebuah cincin seraya berpesan agar tidak memberitahu kepada istri-istri yang lain. <br />
Lalu suatu hari hari para istri Rasulullah itu berkumpul lagi dan mengajukan pertanyaan yang sama. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Yang paling aku sayangi adalah yang kuberikan cincin kepadanya”. Kemudian, istri-istri Nabi SAW itu tersenyum puas karena menyangka hanya dirinya saja yang mendapat cincin dan merasakan bahwa dirinya tidak terasing. <br />
Masih ada amalan-amalan lain yang bisa dilakukan untuk mendapatkan suasana romatis seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila pasangan suami istri berpegangan tangan, dosa-dosa akan keluar melalui celah-celah jari mereka”. <br />
Rasulullah SAW selalu berpegangan tangan dengan Aisyah ketika di dalam rumah. Beliau acapkali memotong kuku istrinya, mandi janabat bersama, atau mengajak salah satu istrinya bepergian, setelah sebelumnya mengundinya untuk menambah kasih dan sayang di antara mereka. <br />
Baginda Nabi SAW juga selalu memanggil istri-istrinya dengan panggilan yang menyenangkan dan membuat hati berbunga-bunga. “Wahai si pipi kemerah-merahan” adalah contoh panggilan yang selalu beliau ucapkan tatkala memanggil Aisyah.<br />
Itulah sedikit contoh romantisme Rasulullah SAW yang dapat kita teladani dan praktekkan dalam kehidupan berumahtangga. Tentu, masih banyak contoh romantisme lainnya.<br />
Kepada suami-suami yang baik, mulailah bersikap lembut dan berupaya membuat sang istri selalu mengembang senyumnya. Peganglah tangan istri anda setiap waktu, setiap kesempatan. Begitu pula para istri-istri yang sholehah, peganglah juga tangan suami anda untuk menghapuskan segala dosa-dosa. <br />
Jadi, jika bisa meniru romantisme ala Rasul, sehingga istri pun membalas dengan yang tidak kalah romantisnya, masalah mana lagi yang sempat mampir dalam bahtera rumahtangga kita? <br />
Ibarat kata, tidak ada makanan di rumah pun bisa diselesaikan berdua dengan tetap tersenyum, bukan begitu?Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-49721875646539085682011-01-19T20:54:00.000-08:002011-01-19T20:54:19.287-08:00Menikah, Kenapa Takut??<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4sTILkpotkd3C9VVBhZvfifTPW67qCvpisrnNJJ-vBSfYNPLxeqXOwli9Cn2iupZZe449Lqe58imBJ0M7Yc1Bnj46gHqZUnlxLliDy9iZUddTaFwK_y7AoFtBUmw0b_vTdvSPpblBY7I/s1600/4.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4sTILkpotkd3C9VVBhZvfifTPW67qCvpisrnNJJ-vBSfYNPLxeqXOwli9Cn2iupZZe449Lqe58imBJ0M7Yc1Bnj46gHqZUnlxLliDy9iZUddTaFwK_y7AoFtBUmw0b_vTdvSPpblBY7I/s1600/4.jpeg" /></a></div><br />
Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya? <br />
Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.<br />
Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.<br />
<strong>Menikah itu Fitrah</strong><br />
Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. <em>Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain,</em> dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada.<em> Walan tajida lisunnatillah tabdilla</em>, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62).<em> Walan tajida lisunnatillah tahwiila</em>, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)<br />
Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.<br />
Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.<br />
Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.<br />
Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, <em>mawaddah wa rahmah</em>. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu <em>pernikahan</em>. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.<br />
Allah berfirman <em>fankihuu</em>, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. <em>Walaa taqrabuzzina,</em> dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.<br />
Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.<br />
Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya <em>liman yuridduz zawaj</em> mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”<br />
<strong>Menikah Itu Ibadah</strong><br />
Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits <em>Hasan</em>)<br />
Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah <em>muhshan</em> atau <em>muhshanah</em> (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.<br />
Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.<br />
<strong>Pernikahan dan Penghasilan</strong><br />
Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?<br />
Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.<br />
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku <em>Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj</em>. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.<br />
Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.<br />
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat <em>iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim</em>, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.<br />
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, <em>Al Jami’ liahkamil Qur’an</em> juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).<br />
Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)<br />
Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat <em>Siyar A’lamun Nubala’</em> oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.<br />
Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.<br />
Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.<br />
Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.<br />
<strong>Pernikahan dan Menuntut Ilmu</strong><br />
Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.<br />
Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: <em>lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha,</em> seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.<br />
Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.<br />
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.<br />
Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.<br />
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai <em>study</em> dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (<em>uzzab</em>) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama <em>uzzab</em> karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama <em>uzzab</em>, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.<br />
<strong>Kesimpulan</strong><br />
Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.<br />
Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.<br />
Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. <em>Wallahu a’lam bishshawab.</em>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-32174284130760114652011-01-19T20:50:00.000-08:002011-01-19T20:50:22.786-08:00Agar Pernikahan Membawa Berkah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQ94CaP5-nGTzW4EbllhMMmq7B_X-7T9sj1ektCzu6sgFZCv3CSobkd5QUz8ReyRsEs52XK1r2Uq_T7piahDfiz4wEL_oHfjw-Jme-oo633Mj7k7S5v8-jXHK0bIKZi4qDqnp0aihnBKw/s1600/2.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQ94CaP5-nGTzW4EbllhMMmq7B_X-7T9sj1ektCzu6sgFZCv3CSobkd5QUz8ReyRsEs52XK1r2Uq_T7piahDfiz4wEL_oHfjw-Jme-oo633Mj7k7S5v8-jXHK0bIKZi4qDqnp0aihnBKw/s1600/2.jpeg" /></a></div><br />
Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil. <br />
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.<br />
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.<br />
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.<br />
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?<br />
<strong>1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)</strong><br />
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.<br />
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)<br />
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.<br />
<strong>2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)</strong><br />
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.<br />
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.<br />
<strong>3. Sikap toleran (Tasamuh)</strong><br />
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.<br />
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.<br />
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.<br />
<strong>4. Komunikasi (Musyawarah)</strong><br />
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.<br />
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.<br />
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.<br />
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.<br />
<strong>5. Sabar dan Syukur</strong><br />
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”<br />
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.<br />
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.<br />
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.<br />
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.<br />
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).<br />
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:<br />
<div style="margin-left: 40px;"><em>Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.</em></div><div style="margin-left: 40px;"><em>Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.</em></div><div style="margin-left: 40px;"><em>Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.</em></div><div style="margin-left: 40px;"><em>Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.</em></div><div style="margin-left: 40px;"><em>Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.</em></div>Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).<br />
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.<br />
<strong>6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)</strong><br />
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)<br />
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.<br />
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.<br />
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.<br />
<strong>7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)</strong><br />
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).<br />
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.<br />
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”<br />
<strong>Wujud indahnya keberkahan keluarga</strong><br />
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.<br />
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.<br />
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.<br />
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185<br />
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”<br />
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:<br />
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)<br />
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).<br />
Inilah keberkahan yang hakiki.Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-75045590324339973182011-01-19T20:41:00.000-08:002011-01-19T20:41:20.968-08:00Muhammad Sebagai Seorang Suami<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDw5hc2puBfJOOryDV_NfgAMNZhwLFXFGclu7Ke_U0zzX_ambfgBNdi1UXIiPyL286qdtUSnEIOh2nKgjzG0zinoZl2XugAS9IlLuQEnpde9W35I2MoJMJ9Ad-A-4ES6MNmAwBWrPZ470/s1600/m.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDw5hc2puBfJOOryDV_NfgAMNZhwLFXFGclu7Ke_U0zzX_ambfgBNdi1UXIiPyL286qdtUSnEIOh2nKgjzG0zinoZl2XugAS9IlLuQEnpde9W35I2MoJMJ9Ad-A-4ES6MNmAwBWrPZ470/s1600/m.jpeg" /></a></div><br />
Di antara tanda kasih sayang Allah swt terhadap manusia adalah diutusnya Rasul ditengah-tengah mereka. Inilah nikmat paling besar yang Allah swt karuniakan kepada manusia. Agar para Rasul menjadi penerang bagi orang-orang yang salah jalan. Menjadi penunjuk bagi orang-orang yang tersesat. <br />
Hal paling utama dan berharga yang dipersembahkan para Rasul kepada manusia setelah penunjukan jalan hidayah Allah swt. adalah mereka, para Rasul sebagai contoh teladan bagi yang meniti jalan menuju Allah swt, agar orang beriman mengambil apa yang mereka contohkan dalam segenap urusan dan bidang, fiddunya wal akhirah.<br />
Allah swt berfirman tentang pribadi Nabi kita Muhammad saw.:<br />
<em>“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”</em> Al Ahzab:21<br />
Berkata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini: “Inilah ayat mendasar yang berisikan anjuran menjadikan Rasulullah saw sebagai suri teladan, dalam ucapan, perbuatan dan keadannya.”<br />
Dan bukti kemurahan Allah swt terhadap umat Islam ini adalah, bahwa sirah atau perjalanan hidup Nabi saw. baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaannya direkam dan dijaga oleh para tokoh –ahli hadits- yang mukhlis. Dan mereka menyampaikan apa yang datang dari Rasul kepada orang lain dengan sangat amanah.<br />
Contoh sederhana adalah tentang petunjuk Nabi bagaimana beliau makan, cara minum, berpakaian, berhias, bagaimana beliau tidur dan ketika terjaga, ketika beliau mukim atau sedang safar, ketika beliau tertawa atau menangis, dalam kesungguhan atau canda, dalam suasana ibadah atau hubungan sosial, perihal urusan agama atau dunia, ketika kondisi damai atau saat perang, dalam berinteraksi dengan kerabat atau orang yang jauh, menghadapi teman atau lawan, sampai pada sisi-sisi yang menurut orang bilang “intim” dalam hubungan suami-istri. Semuanya terekam, tercatat dan diriwayatkan dengan sahih dalam sirah perjalanan hidup beliau saw.<br />
Dalam tulisan sederhana ini kami paparkan petunjuk Nabi saw. tentang bagaimana beliau berinteraksi dengan istri-istrinya. Bagaimana beliau bermu’amalah dan menjaga mereka. serta bagaimana beliau melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak mereka.<br />
<strong>Muhammad Bersikap Adil</strong><br />
Nabi Muhammad saw. sangat memperhatikan perilaku adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal, termasuk sesuatu yang remeh dan sepele. Beliau adil terhadap istri-istrinya dalam pemberian tempat tinggal, nafkah, pembagian bermalam, dan jadwal berkunjung. Beliau ketika bertandang ke salah satu rumah istrinya, setelah itu beliau berkunjung ke rumah istri-istri beliau yang lain.<br />
Soal cinta, beliau lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri beliau yang lain, namun beliau tidak pernah membedakan Aisyah dengan yang lain selamanya. Meskipun di sisi lain, beliau beristighfar kepada Allah swt karena tidak bisa berlaku adil di dalam membagi cinta atau perasaan hati kepada istri-istrinya, karena persoalan yang satu ini adalah hak preogratif Allah swt. saja. Rasulullah saw. bersabda:<br />
<div class="arabic">(اللهم إن هذا قسمي فيما أملك، فلا تلمني فيما لا أملك)</div><em>“Ya Allah, inilah pembagianku yang saya bisa. Maka jangan cela aku atas apa yang aku tidak kuasa.” </em><br />
Ketika beliau dalam kondisi sakit yang menyebabkan maut menjemput, beliau meminta kepada istrinya yang lain agar diperkenankan berada di rumah Aisyah. Bahkan ketika beliau mengadakan perjalanan atau peperangan, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Siapa yang kebagian undian, dialah yang menyertai Rasulullah saw.<br />
<strong>Muhammad Bermusyawarah Dengan Para Istrinya</strong><br />
Rasulullah saw mengajak istri-istrinya bermusyawarah dalam banyak urusan. Beliau sangat menghargai pendapat-pendapat mereka. Padahal wanita pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam diperlakukan seperti barang dagangan semata, dijual dan dibeli, tidak dianggap pendapatnya, meskipun itu berkaitan dengan urusan yang langsung dan khusus dengannya.<br />
Islam datang mengangkat martabat wanita, bahwa mereka sejajar dengan laki-laki, kecuali hak qawamah atau kepemimpinan keluarga, berada ditangan laki-laki. Allah swt berfirman:<br />
<em>“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”</em> Al Baqarah:228.<br />
Adalah pendapat dari Ummu Salamah ra pada peristiwa Hudaibiyah, membawa berkah dan keselamatan bagi umat Islam. Ummu Salamah memberi masukan kepada Nabi agar keluar menemui para sahabat tanpa berbicara dengan siapa pun, langsung menyembelih hadyu atau seekor domba dan mencukur rambutnya. Ketika beliau melaksanakan hal itu, para sahabat dengan serta-merta menjalankan perintah Nabi saw, padahal sebelumnya mereka tidak mau melaksanakan perintah Rasul, karena mereka merasa pada pihak yang kalah pada peristiwa itu. Mereka melihat bahwa syarat yang diajukan kaum kafir Quraisy tidak menguntungkan kaum muslimin.<br />
<strong>Muhammad Lapang Dada dan Penyayang</strong><br />
Istri-istri Rasulullah saw memberi masukan tentang suatu hal kepada Nabi, beliau menerima dan memberlakukan mereka dengan lembut. Beliau tidak pernah memukul salah seorang dari mereka sekali pun. Belum pernah terjadi demikian sebelum datangnya Islam. Perempuan sebelum Islam tidak punya hak bertanya, mendiskusikan dan memberi masukan apalagi menuntut.<br />
Umar ra berkata:<br />
“Saya marah terhadap istriku, ketika ia membantah pendapatku, saya tidak terima dia meluruskanku. Maka ia berkata; “Mengapa kamu tidak mau menerima pendapatku, demi Allah, bahwa istri-istri Rasulullah memberi pendapatnya kepada beliau, bahkan salah satu dari mereka ngambek dan tidak menyapanya sehari-semalam. Umar berkata; “Saya langsung bergegas menuju rumah Hafshah dan bertanya: “Apakah kamu memberi masukan kepada Rasulullah saw? ia menjawab: Ya. Umar bertanya lagi, “Apakah salah seorang di antara kalian ada yang ngambek dan tidak menegur Rasul selama sehari-semalam? Ia menjawab: Ya. Umar berkata: “Sungguh akan rugi orang yang melakukan demikian di antara kalian.”<br />
<strong>Cara Nabi Meluruskan Keluarganya</strong><br />
Rasulullah saw tidak pernah menggap sepele kesalahan yang diperbuat oleh salah satu dari istri. Beliau pasti meluruskan dengan cara yang baik. Diriwayatkan dari Aisyah:<br />
<div class="arabic">تقول عائشة رضي الله عنها: ما رأيت صانعة طعام مثل صفية صنعت لرسول الله طعاما وهو في بيتي، فارتعدت من شدة الغيرة فكسرت الإناء ثم ندمت فقلت: يا رسول الله ما كفارة ما صنعت؟ قال: إناء مثل إناء، وطعام مثل طعام.</div><em>“Saya tidak pernah melihat orang yang lebih baik di dalam membuatkan masakan, selain Shafiyah. Ia membuatkan hidangan untuk Rasulullah saw di rumahku. Seketika saya cemburu dan membanting piring beserta isinya.” Saya menyesal, seraya berkata kepada Rasulullah saw. “Apa kafarat atas perilaku yang saya lakukan?” Rasulullah saw menjawab: “Piring diganti piring, dan makanan diganti makanan.”</em><br />
Rasulullah saw. menjadi pendengar yang baik. Beliau memberi kesempatan kepada istri-istrinya kebebasan untuk berbicara. Namun beliau tidak toleransi terhadap kesalahan sekecil apa pun. Aisyah berkata kepada Nabi setelah wafatnya Khadijah ra.:<br />
<em>“Kenapa kamu selalu mengenang seorang janda tua, padahal Allah telah memberi ganti kepadamu dengan yang lebih baik.” Maka Rasulullah saw marah, seraya berkata: “Sunggguh, demi Allah, Allah tidak memberi ganti kepadaku yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku ketika manusia mengingkariku. Ia menolongku ketika manusia memusuhiku. Saya dikaruniai anak darinya, yang tidak Allah berikan lewat selainnya.”</em><br />
<strong>Muhammad Pelayan Bagi Keluarganya</strong><br />
Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan khidmah atau pelayanan ketika di dalam rumah. Beliau selalu bermurah hati menolong istri-istrinya jika kondisi menuntut itu. Rasulullah saw bersabda:<br />
<div class="arabic">وكان يقول: (خدمتك زوجتك صدقة)</div><em>“Pelayanan Anda untuk istri Anda adalah sedekah.” </em><br />
Adalah Rasulullah saw mencuci pakaian, membersihkan sendal dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan oleh anggota keluarganya.<br />
<strong>Muhammad Berhias Untuk Istrinya</strong><br />
Rasulullah saw mengetahu betul kebutuhan sorang wanita untuk berdandan di depan laki-lakinya, begitu juga laki-laki berdandan untuk istrinya. Adalah Rasulullah saw paling tampan, paling rapi di antara manusia lainnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya agar berhias untuk istri-istri mereka dan menjaga kebersihan dan kerapihan. Rasulullah saw bersabda:<br />
<div class="arabic">وكان يقول: (اغسلوا ثيابكم وخذوا من شعوركم واستاكوا وتزينوا وتنظفوا فإن بني إسرائيل لم يكونوا يفعلون ذلك فزنت نساؤهم).</div><em>“Cucilah baju kalian. Sisirlah rambut kalian. Rapilah, berhiaslah, bersihkanlah diri kalian. Karena Bani Isra’il tidak melaksanakan hal demikian, sehingga wanita-wanita mereka berzina.”</em><br />
<strong>Muhammad dan Canda-Ria</strong><br />
Rasulullah saw tidak tidak lupa bermain, bercanda-ria dengan istri-istri beliau, meskipun tanggungjawab dan beban berat di pundaknya. Karena rehat, canda akan menyegarkan suasan hati, menggemberakan jiwa, memperbaharui semangat dan mengembalikan fitalitas fisik.<br />
<div class="arabic">فعن عائشة – رضي الله عنها- أنها قالت خرجنا مع رسول الله (صلى الله عليه وسلم) في سفر فنزلنا منزل فقال لها : تعالي حتى أُسابقك قالت: فسابقته فسبقته، وخرجت معه بعد ذلك في سفر آخر فنزلنا منزلا فقال: تعالي حتى أسابقك قالت: فسبقني، فضرب بين كتفي وقال : هذه بتلك).</div>Dari Aisyah ra berkata: <em>“Kami keluar bersama Rasulullah saw dalam suatu safar. Kami turun di suatu tempat. Beliau memanggil saya dan berkata: “Ayo adu lari” Aisyah berkata: Kami berdua adu lari dan saya pemenangnya. Pada kesempatan safar yang lain, Rasulullah saw mengajak lomba lari. Aisyah berkata: “Pada kali ini beliau mengalahkanku. Maka Rasulullah saw bersabda: “Kemenangan ini untuk membalas kekalahan sebelumnya.”</em> Allahu A’lamDedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-42509561570525187832011-01-19T20:35:00.000-08:002011-01-19T20:35:04.573-08:00Empat Kunci Rumah Tangga Harmonis<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPff8pDJ8xvSJ4IZbYGkOhkx1eyue6Vc8-_jBktLtupSQpKG1IkbChl4yj5ayg3hhhVLKS_NNPHiQUIgldnHoIrY2p75MX3Hy3r7JQBjN8aTmjO2xfetY3NlHzpI4x_pP_Sr8kGnSvcZk/s1600/cincin.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPff8pDJ8xvSJ4IZbYGkOhkx1eyue6Vc8-_jBktLtupSQpKG1IkbChl4yj5ayg3hhhVLKS_NNPHiQUIgldnHoIrY2p75MX3Hy3r7JQBjN8aTmjO2xfetY3NlHzpI4x_pP_Sr8kGnSvcZk/s1600/cincin.jpeg" /></a></div><br />
Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi. <br />
Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.<br />
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.<br />
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.<br />
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.<br />
Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah:<br />
<strong>1. Jangan melihat ke belakang</strong><br />
Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa <em>nggak </em>saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.<br />
Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.<br />
Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, <em>na’udzubillah</em>, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.<br />
<strong>2. Berpikir objektif</strong><br />
Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.<br />
Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.<br />
Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.<br />
Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.<br />
<strong>3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya</strong><br />
Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.<br />
Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.<br />
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.<br />
<strong>4. Sertakan sakralitas berumah tangga</strong><br />
Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.<br />
Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.<br />
Lakukanlah pendekatan <em>ubudiyah</em>. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan <em>taqarrub</em> pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-29556784411335813222011-01-19T20:20:00.000-08:002011-01-19T20:20:01.513-08:00Membuat Konflik Keluarga Jadi Daya Rekat (2)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhArGgshUzy8TRdVRazWafS0yxTMYB6Y_63OQFscP6GloWIJGx5O9eOESSiO3EaS8rdFc6V6lOY0sFKGgtr0n_8qLOtqVuMuXMlT5ZMoLSWiICs1ZIMjtGRla-wStSa5fj-pJvT6X_-O7I/s1600/images.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhArGgshUzy8TRdVRazWafS0yxTMYB6Y_63OQFscP6GloWIJGx5O9eOESSiO3EaS8rdFc6V6lOY0sFKGgtr0n_8qLOtqVuMuXMlT5ZMoLSWiICs1ZIMjtGRla-wStSa5fj-pJvT6X_-O7I/s1600/images.jpeg" /></a></div><br />
Di antara langkah manajemen konflik adalah rasionalisasi antara idealisme dan realisme sehingga tercapai titik temu kompromis yang positif sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Musthafa Masyhur: “Kita kompromi untuk mengambil pilihan yang maslahat lebih baik daripada bercerai untuk pilihan yang paling maslahat (ashlah) dan kita kompromi untuk mengambil pilihan yang benar lebih baik daripada kita bertengkar untuk pilihan yang paling benar”.<br />
Di antara metode efektif untuk menunjukkan dan merubah kebiasaan, sikap, persepsi, pikiran dan pendirian orang lain yang salah tanpa menimbulkan kejengkelan, kedongkolan dan ketegangan yaitu:<br />
1. dengan lebih dahulu menunjukkan kebaikan dengan pujian dengan tulus ikhlas<br />
2. dengan menunjukkan kesalahan orang secara tidak langsung sebab banyak orang yang tidak suka digurui dan dikuliahi<br />
3. Dengan membicarakan lebih dahulu kesalahan dan cacat sendiri, sebelum melancarkan kecaman kepada orang lain<br />
4. Memberi perintah dalam bentuk dan nada suatu usulan sebab tidak ada orang yang suka diperintah<br />
5. Mencoba tidak menyinggung perasaan dan titik sensitif orang lain, sebab setiap orang menginginkan tetap terpeliharanya rasa harga dirinya.<br />
6. Memberikan dorongan dengan memuji perbaikan yang telah diusahakan betapapun kecilnya, dan pujian ini dilakukan dengan senang hati dan penuh semangat.<br />
7. memberikan reputasi baik kepada orang lain sebagai kekuatan moral sehingga ia harus mempertahankannya<br />
8. Memuji, membesarkan hati dan menyikapi seolah kesalahan orang lain itu mudah dibetulkan<br />
9. Usahakan agar orang lain suka melakukan apa yang Anda inginkan.<br />
Rumah tangga ibarat tanaman memerlukan siraman, pupuk dan sinar di samping penjagaan dan perawatan dari yang mengganggu pertumbuhannya, maka rasa cinta, perhatian dan simpati merupakan kebutuhannya. Semuanya itu dapat didukung dengan beberapa kiat untuk menambah simpati orang lain dan meningkatkan kebahagiaan rumah tangga di antaranya yaitu:<br />
1. Jangan sering dan cepat merengek. Menurut laporan Boston Post bahwa banyak wanita dunia yang merusak kebahagiaan rumah tangganya dengan rengekan-rengekannya<br />
2. Cintailah dan biarkanlah hidup dengan cara sendiri menurut kecenderungan fitrinya dan jangan mencoba merubah hidup pasangan Anda. Psikolog L.F. Wood dalam Growing Together in the Family menyatakan bahwa sukses dalam perkawinan tidak bisa dicapai dengan menemukan pandangan yang serasi dan hebat, melainkan dicapai dengan menjadi sendiri pasangan yang serasi dan hebat. Demikian pula Prof. Henry James menegaskan bahwa yang pertama-tama diperlukan dalam pergaulan ialah tidak mencampuri cara khusus orang lain dalam mencari dan menemukan kebahagiaannya, asal caranya tidak bertentangan dengan norma dan caranya sendiri dalam menemukan kebahagiaan.<br />
3. Menjauhkan perceraian dengan menghindari banyak cerewet, mengomel dan mengumpat karena berharap yang terlalu banyak pada pasangan secara tidak proporsional dan realistis<br />
4. Berilah secara spontan pujian, terima kasih dan penghargaan terhadap hasil usaha orang lain betapapun kekurangannya<br />
5. Memberikan attensi-attensi kecil kondisional yang dapat meredam potensi konflik. Menurut cerita, George M. Cohan, raja teater di New York sesibuk apapun masih menyempatkan waktu untuk menelpon dua kali sehari kepada keluarganya.<br />
Hal seperti itu juga terjadi pada seorang ulama fiqih di Madinah Dr. Abdullah Az-Zahim yang selalu menelpon istrinya setibanya di kampus untuk menanyakan kabarnya dan memberitahukan kesampaiannya di kampus. Tujuan semua itu ialah untuk membuktikan bahwa Anda ingin menggembirakan pasangan Anda, dan bahwa kebahagiaan, kondisi dan hidupnya sangat berarti bagi Anda dan menjadi perhatian Anda selalu. Para pasangan khususnya kaum wanita sangat memperhatikan hari-hari penting dalam kehidupannya seperti hari kelahiran dan perkawinannya yang sensitif bila dilupakan oleh pasangan. Rayakan bersama secara islami atau minimal berikanlah hadiah atau ucapkanlah selamat ataupun sekadar percakapan kenangan. J. Sabbath, seorang hakim kondang di Chicago telah menyidangkan 40.000 kasus proses perceraian, dan berhasil mendamaikan 200 suami istri. Katanya: “Di antara peredam konflik dalam perkawinan yang paling banyak justru hal-hal remeh. Suatu hal kecil misalnya, jika sang istri melambaikan tangannya ketika suaminya pergi bekerja bisa mencegah perceraian.”)<br />
6. Bersikaplah hormat dan sopan-santun kepada orang lain terlebih pasangan hidup<br />
7. Berusaha mempelajari dan memperbaiki penampilan seksual.<br />
Dr. G.V. Hamilton dalam What is wrong with marriage menyatakan bahwa kebanyakan problem-problem dalam perkawinan timbul karena konflik seksual dan kesesuaian syahwati yang kurang baik. Pendeknya banyak kesukaran dalam perkawinan karena faktor lain yang bisa diabaikan asal hubungan syahwatinya memuaskan. Dr. P. Popenoe, konsultan ahli Lembaga Masalah Perkawinan di Los Angeles menyimpulkan penyebab utama kandasnya perkawinan ialah:<br />
a. tidak ada keserasian syahwati,<br />
b. kurang kompak penggunaan waktu luang,<br />
c. kesulitan keuangan,<br />
d. cacat rohani, jasmani dan perasaan.<br />
Islam mengharuskan setiap muslim agar bersikap adil, baik terhadap orang yang dicintai maupun yang tidak disukai. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah:8) Implementasi sikap adil ini merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam manajemen konflik untuk mengikis gejala fanatisme dan egoisme serta meredam ketegangan komunikasi<br />
<strong>Penutup: Evaluasi dan Introspeksi Bersama dalam Manajemen Konflik</strong><br />
Manajemen konflik ini sangat penting bagi setiap pasangan yang masih peduli arti penting keutuhan rumah tangga dan melanjutkan bahtera keluarga sampai ke tempat tujuan serta menganggap bahwa tiada harta yang paling berharga selain keluarga dan tiada mutiara seindah keluarga sebagaimana pesan theme song sinetron Keluarga Cemara di televisi.<br />
Manajemen konflik ini penting untuk dipelajari dan dibiasakan terutama bagi pasangan yang masih peduli arti kesalehan bukan hanya kesalehan pribadi melainkan juga kesalehan keluarga artinya baik terhadap keluarga dan membawa keluarga kepada yang lebih baik secara lahir dan batin, sebagaimana sabda Nabi saw. : “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik sikapnya terhadap keluarganya dan saya adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya.”<br />
Hal ini penting bagi pasangan yang bukan penganut trend keblinger wajarisasi perceraian dan trend single parent sebagaimana yang dialami oleh sederetan artis, kaum selebritis, orang terkenal dan figur publik seolah perceraian merupakan hal yang wajar meskipun bagaimanapun juga sebenarnya sebuah tragedi perjalanan hidup manusia. Yaitu pasangan yang terlibat konflik rumah tangga dan tetap berusaha mencari jalan kompromi, rujuk, berhenti bertengkar dan berselisih serta kembali bekerja sama dengan memaklumi kekurangan dan memaafkan kesalahan masing-masing demi melanjutkan bersama perjalanan bahtera rumah tangga dan masa depan anak-anak.<br />
Sebagai latihan praktis dalam manajemen konflik rumah tangga ada baiknya menggunakan evaluasi di antaranya pertanyaan-pertanyaan kecil ini yang merupakan saduran dari tulisan Emmet Crozier di American Magazine dengan beberapa penyesuaian dan editing mengenai faktor penyebab mengapa perkawinan bisa gagal dan kandas di tengah jalan.<br />
Apakah Anda masih mencumbu pasangan Anda, dan kadang-kadang membawakan makanan atau bunga kepadanya? Apakah Anda memberinya hadiah pada hari lahirnya dan pada hari ulang tahun perkawinan (Hadits Nabi saw. tahadauw tahabbu: Saling memberikan hadiahlah kalian niscaya akan saling mencintai) Apakah Anda memberi attensi yang tak terduga-duga kepadanya atau menunjukkan bukti kasih-sayang Anda? Apakah Anda berusaha tidak mengecam pasangan Anda terutama di depan orang lain? Apakah Anda berusaha memahami berbagai perasaan pasangan Anda dan komit untuk membantunya dalam mengatasi sat-sat kesulitan, keletihan, kegelisahan dan cepat marah? Apakah sedikitnya setengah dari waktu luang Anda gunakan untuk berdekatan dengan pasangan Anda? Apakah Anda sedemikian arif dan bijaksana untuk tidak membanding-bandingkan pasangan Anda dengan orang lain baik dari segi penampilan fisik, pemenuhan kewajiban, pelayanan dan attensi?<br />
Apakah Anda sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan intelektual, interaksi sosial, pergaulan perkumpulan dan bacaan pasangan Anda maupun pemikirannya (fikrahnya) tentang berbagai masalah sehingga bisa diskusi dan nyambung? Apakah Anda berusaha mencari alasan untuk memuji dia dan menunjukkan rasa kagum kepadanya? Apakah Anda telah membiasakan diri mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil yang ia lakukan untuk Anda dan juga mengucapkan permohonan maaf untuk setiap kesalahan yang Anda lakukan? Apakah Anda sudah memberikan kemerdekaan penuh kepada pasangan Anda untuk menjalani aktivitas, karier, kehidupan, pilihan-pilihan dalam hidup? Apakah Anda berusaha untuk selalu bersikap sebaik-baiknya, seriang-riangnya, seceria-cerianya bila sedang berkumpul bersama supaya ia ikut riang dan senang? Apakah Anda berusaha menjadikan pelayanan Anda kepadanya bervariatif dan bahkan mengejutkan untuk menghindari kejenuhan dan kebosanan?<br />
Apakah Anda memiliki pengertian tentang pekerjaan yang dilakukan oleh pasangan Anda sehingga dapat membahasnya bersama? Apakah Anda bisa memikul bersama segala kesulitan-kesulitan pasangan Anda dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya? Apakah Anda berusaha untuk bisa bergaul sebaik-baiknya dengan keluarga pasangan Anda? Apakah Anda berpakaian dan berpenampilan sesuai dengan selera dan keinginan pasangan Anda? Apakah Anda mengabaikan perbedaan dan perselisihan kecil yang tidak prinsipil demi memelihara keutuhan dan kedamaian rumah tangga? Apakah Anda berusaha mempelajari olahraga, permainan dan hiburan yang disukai oleh pasangan Anda, sehingga Anda pun bisa melakukannya dalam waktu senggang dan bermanfaat bagi semuanya? Wallahu A’lam Wabillahit taufiq wal Hidayah.mDedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-10250334560913361542011-01-19T20:18:00.000-08:002011-01-19T20:18:25.559-08:00Membuat Konflik Keluarga Jadi Daya Rekat (1)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVMLNga_yLO3EBrLZQTFdFwEiZa6r4UIgvh8yzhr0Z6rDWdeKYcemTOLkeOJMCGrLPssMdb4sFikuY8Vi40yFP4zXuuza-73LswwD8cZVj8JWRq9JZmqHJoBjYVQ3i1iPgv8vF7tDvQu0/s1600/images.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVMLNga_yLO3EBrLZQTFdFwEiZa6r4UIgvh8yzhr0Z6rDWdeKYcemTOLkeOJMCGrLPssMdb4sFikuY8Vi40yFP4zXuuza-73LswwD8cZVj8JWRq9JZmqHJoBjYVQ3i1iPgv8vF7tDvQu0/s1600/images.jpeg" /></a></div><br />
Hubungan sosial dan dinamika keluarga merupakan suatu keniscayaan fitrah bagi umat manusia. Hubungan dan dinamika ini tidak terlepas dari suasana harmoni maupun disharmoni yang semuanya itu bertolak dari pengelolaan konflik dan sumber-sumbernya secara baik sehingga apapun yang ada, situasi, gejala dan reaksi yang timbul akan menjadi sebuah potensi kebaikan dan kebahagiaan dan bukan sebaliknya. Seni pergaulan inilah sebenarnya substansi ajaran Nabi bahwa berjamaah, berkumpul, bersatu dan bermasyarakat itu dengan dilandasi kesabaran dalam arti luas lebih disukai daripada kepribadian kuper yang isolatif apalagi antisosial. Seni pergaulan untuk mengatasi berbagai perbedaan, perselisihan, kontradiksi, pluralitas, heterogenitas, dan berbagai variabel ketegangan hubungan membutuhkan manajemen konflik yang baik bagaikan sebuah sajian orkestra yang membutuhkan gerakan dan permainan bunyi yang harmonis dari berbagai instrumen yang kontradiktif sehingga menimbulkan suara yang merdu dan bukan bunyi yang fals yang memuakkan.<br />
Konflik yang ada dalam pergaulan sosial dan kehidupan keluarga bagaikan garam yang menjadikan masakan lezat dalam kadarnya yang proporsional dan merupakan garam bagi bahtera rumah tangga yang membantu pelayaran kapal mengarungi samudera menuju cita-cita keluarga yang bahagia. Konflik tidak selalu negatif dan yang membuat konflik berdampak negatif adalah cara menyikapi dan memahaminya.<br />
Manajemen konflik ini dimaksudkan untuk menjadikan variabel konflik menjadi kontrol dan bahan evaluasi, mencari cara untuk menekan ketegangan, meredam letupan maupun ledakan dan menghindari sebab-sebab pemicunya, mengatasi konflik yang timbul dengan memprioritaskan keutuhan dan persatuan demi maslahat dan kebaikan yang lebih luas dan panjang serta mengingat kebaikan yang ada (QS. Al-Baqarah:237). Di samping itu berusaha membangun sistem dan budaya komunikasi keluarga yang baik, lancar dan terbuka agar hubungan selalu harmonis.<br />
Konflik dalam keluarga yang hampir menjadi perbincangan sehari-hari sebenarnya dapat dihindari paling tidak dapat diminimalisasi bisa setelah perkawinan masing-masing pasangan menjaga komitmen untuk selalu menjadikan perlakuan baik, sopan santun dan etika pergaulan dengan pasangan hidup menjadi perhatian utama, sebagaimana mencurahkan perhatian kepada kawan baru. Sebab bila pengantin muda mencurahkan perhatiannya sama banyak kepada pasangannya sebagaimana kepada kawan baru maka niscaya pasangan akan berhenti mengecam dan mencari kesalahan, bukankah suami istri itu sudah menjadi satu melebihi saudara yang di situ terdapat hak dan kewajiban ukhuwah. Samuel Vauclain direktur Baldwin Locomotive Work: “Anda bisa mendapatkan apa saja dari setiap orang asal Anda menghormati orang lain, dan menunjukkan bahwa Anda menghargai kecakapan-kecakapannya.” Shakespeare: “Bersikaplah seolah-olah Anda sudah mempunyai sikap baik itu, meskipun Anda belum mempunyainya.” (QS. An-Nisa:19, QS. Al-Hujurat:10-12)<br />
Hilangnya etika pergaulan suami-istri dan sopan santun merupakan bibit kanker yang menggerogoti benih-benih rasa cinta dan simpati. Semua orang mengatakan hal ini, namun aneh sekali bahwa kita ini lebih sopan terhadap orang-orang lain daripada terhadap anggota keluarga sendiri. Bahkan ironisnya justru anggota-anggota keluarga kita sendiri yang paling dekat dan kita sayangi, kita berani dan sering menghina serta menyakitinya dengan mengecam kesalahan-kesalahan kecil mereka. Memang aneh tapi nyata bahwa sesungguhnya orang-orang yang paling kita hina dan sakiti hatinya biasanya adalah orang-orang terdekat yang tinggal serumah dengan kita sebab, seperti kata psikolog Prof. Henry James bahwa kita ini semua buta dan tidak peka terhadap perasaan-perasaan orang lain.<br />
Sopan santun dan etika pergaulan keluarga dalam manajemen konflik keluarga adalah sangat vital sama pentingnya dengan minyak dalam mobil. Namun begitu banyak orang yang di benaknya sama sekali tidak punya pikiran untuk melemparkan hinaan dan hal-hal yang menyakitkan kepada rekan kerja atau pelanggan, dengan seenaknya membentak-bentak pasangan hidupnya. Padahal bagi kebahagiaan sendiri tentunya perkawinan adalah jauh lebih penting dan berarti daripada usaha ataupun karir kerjanya. Dan sulit dipahami mengapa seseorang tidak berusaha sama kerasnya mensukseskan perkawinannya, seperti ia berusaha mensukseskan usaha, karir dan perjuangan moral-sosialnya. Kita juga tidak habis pikir dan sulit memahami sikap para pasangan yang kurang diplomatis dalam berkomunikasi, apalagi bahwa perlakuan yang sopan dan manis sebenarnya jauh lebih murah dan menguntungkan daripada sebaliknya, yakni kasar dan kurang sopan.<br />
Setiap orang tahu bahwa seseorang yang puas dan gembira akan bersedia melaksanakan apa saja dan mengalah dalam banyak hal. Demikian pula beberapa pujian dan penghargaan yang sederhana sudah cukup efektif meredam pemicu konflik serta mendorong untuk memberikan pelayanan dan perhatian balik yang sangat besar dengan biaya yang hemat. Selanjutnya setiap pasangan juga tahu bahwa ciuman di mata pasangannya dengan penuh kasih akan menutupinya untuk melihat kekurangan-kekurangannya, dan bahwa ciuman yang mesra di bibirnya akan membuat kata-katanya yang tajam dan pahit menjadi manis seperti madu. Pantaslah psikolog kondang Alfred Adler pernah mengatakan dalam bukunya Arti Hidup Ini Bagi Anda : “Siapa yang tak ada perhatian kepada sesamanya, tidak saja akan mengalami banyak sekali masalah dalam hidupnya sendiri, akan tetapi juga akan mendatangkan masalah bagi lingkungannya. Mereka itulah orang-orang yang gagal di dunia ini.” Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi SAW.: “Barang siapa yang tidak mempedulikan saudaranya muslim yang lain, maka ia keluar dari komunitas mereka.” Artinya orang yang egois akan berpotensi masalah dengan membentangkan jarak dan memicu konflik horizontal.<br />
Ajaran Islam sangat mengecam konflik liar tanpa kendali yang mengakibatkan perpecahan. (QS Al-An’am: 65.Al An-aam:159.) Nabi saw selalu menyerukan kepada kehidupan berjamaah dan persatuan, mengecam sikap konfrontatif, disintegratif, perpecahan, serta mengajak ukhuwah dan mahabbah. Rasulullah saw bersabda:”tangan Allah bersama Jamaah”. “Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Barang siapa membantu keperluan saudaranya maka Allah akan membantu keperluannya.” “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya.” “Tidak boleh seorang muslim menghindari saudaranya di atas tiga hari. Keduanya bertemu kemudian saling menghindar. Orang yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai salam”.<br />
“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, kemudian diberikan ampunan kepada setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, kecuali seseorang yang sedang bermusuhan; lalu dikatakan (kepada Malaikat):Tangguhkan dua orang ini sampai keduanya akur, tangguhkan dua orang ini sampai keduanya akur, tangguhkan kedua orang ini sampai keduanya akur.” “Tiga orang shalatnya tidak akan terangkat walaupun sejengkal di atas kepalanya: orang yang mengimami suatu kaum tetapi kaum itu belum datang tetapi kaum itu membencinya, wanita yang dibenci oleh suaminya dan dua saudara yang saling bermusuhan.”<br />
Allah memang telah menciptakan manusia beraneka ragam kecenderungan, watak dan pembawaannya. Setiap orang mempunyai kepribadian, pemikiran dan tabiat tersendiri. Hal ini terlihat dari penampilan lahiriyahnya dan sikap mentalnya. Namun perbedaan ini hanyalah merupakan perbedaan yang bersifat variatif dan bukan perbedaan paradoksal yang bertentangan dan konfrontatif, melainkan ia merupakan kekayaan. Sebagaimana Allah menciptakan beraneka ragam tanaman dan buahnya walaupun disiram dengan air yang sama. Tabiat alam adalah memiliki beraneka bentuk, iklim dan warna. Namun perbedaan itu hanyalah sebagai perbedaan variatif saja dan tidak menimbulkan pertentangan antara satu dan yang lainnya. Oleh karenanya, konflik yang dikelola secara positif dan menjadi kekuatan dinamis, konstruktif, evaluatif, check and balance, dan kontrol merupakan keniscayaan sebagai rahmat yang Nabi saw tekankan sisi positifnya : “Perbedaan ummatku adalah rahmat”. Akan tetapi perbedaan pendapat atau konflik yang kontra produktif dan destruktif yang mengakibatkan perpecahan, perceraian dan permusuhan dicela dalam Islam. Konflik inilah yang sangat dikecam oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. (QS. Ali Imran:103, 105, Al-Anfal:46)<br />
Rumah tangga yang bahagia merupakan impian setiap manusia. Kadar kebahagiaan tersebut sangat dipengaruhi berbagai faktor di antaranya: Faktor pertama berhubungan dengan masalah ciri-ciri kepribadian, kondisi perasaan dan hubungan timbal balik antara individu dalam keluarga. Masalah ini merupakan faktor yang paling dominan. Faktor kedua, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan manajemen keuangan keluarga. Faktor ketiga berkaitan dengan pemikiran-pemikiran umum untuk mencemerlangkan kehidupan rumah tangga. Terutama dalam usaha mencapai idealisasi luhur dan mewujudkan akhlaq dan agama yang luhur. Faktor keempat berhubungan dengan masalah sosial, hubungan eksternal keluarga, serta yang bersifat pemanfaatan waktu senggang atau hiburan.<br />
Salah seorang sosiolog mengadakan penelitian tentang standar adaptasi suami-istri sebagai modal manajemen konflik rumah tangga untuk mencapai kebahagiaan suami-istri yaitu:<br />
1. Rasa cinta suami-istri harus terpatri erat<br />
2. suami-istri harus mau mengembangkan cara yang benar dan baik dalam bergaul, saling menolong, membantu serta berusaha menjauhi hal-hal yang dapat menyebabkan keretakan rumah tangga karena perbedaan pribadi.<br />
3. suami-istri harus mau bekerja sama, mengenang memori bersama-sama, membangun benang kasih sayang dalam setiap kesempatan.<br />
4. Suami-istri harus saling menjamin agar tercapai kepuasan masing-masing. Terutama dalam hubungan seks.<br />
5. Suami-istri wajib berusaha bersungguh-sungguh memecahkan setiap problem rumah tangga yang muncul.<br />
6. Suami-istri harus saling memberikan kebebasan mengekspresikan hal yang mungkin dilakukan. Bekerja untuk mengembangkan potensi yang dimiliki selama tidak bertentangan dan mengganggu kehidupan suami-istri dan keluarga. Masing-masing pihak harus berusaha saling mengenal dengan baik agar kesesuaian antara mereka dapat tercapai.<br />
Lock berhasil menyimpulkan dalam penelitiannya yang berkenaan dengan masalah urgensi adaptasi suami istri untuk meredam konflik. Yaitu:<br />
1. adaptasi merupakan faktor penting dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia.<br />
2. Saling pengertian berlandaskan pada benih-benih cinta dan emosi. Serta tumbuhnya semangat dan keinginan untuk beraktivitas bersama. Juga rasa saling menghormati dan saling pengertian.<br />
3. Adaptasi bertumpu pada kemampuan masing-masing pihak menerima perasaan dan merespon emosi pihak lain.<br />
Dr. Zakaria Ibrahim mengkonfirmasikan bahwa kehidupan suami istri itu harus diisi dengan rasa kebersamaan, saling mengisi dan merasa senasib sepenanggungan. Suami istri hendaklah bersama-sama bersumpah untuk saling setia. Masing-masing harus merasa sebagai bagian yang lain. Ketulusan dalam berhubungan amat diperlukan. Perasaan, emosi, pemikiran dan tujuan kehidupan harus merupakan satu kesatuan yang utuh.<br />
Dr. Dale Carnegie merumuskan enam cara untuk membangkitkan kebersamaan dan persatuan:<br />
1. Memberikan perhatian, simpati dan empati yang tulus kepada orang lain<br />
2. Memberikan senyuman yang jujur bagaikan mekarnya bunga di taman<br />
3. Menyapa dengan panggilan yang menyejukkan hati<br />
4. Menjadi pendengar yang baik dan doronglah orang lain untuk mengungkapkan isi hati dan mengalirkan gumpalan pikirannya<br />
5. Berbicara mengenai hal-hal yang mengasyikkan orang lain<br />
6. Berusaha membuat orang lain itu merasa bangga dan penting serta mengaguminya dengan ikhlas.<br />
Kadangkala tidak dipungkiri bahwa suami istri memiliki pandangan yang berbeda dan salah satu harus dapat meyakinkan dan menjelaskan alasannya. Di antara metode komunikasi dan dialog yang sejuk serta meyakinkan orang lain adalah:<br />
1. Satu-satunya cara yang benar dalam mengatasi konflik, jangan emosi dan bertengkar.<br />
2. Hormatilah pendapat orang lain dan jangan cepat memvonisnya salah<br />
3. Jika Anda yang salah cepat-cepat dengan kesatria mengakuinya dan mohon maaf secara ikhlas<br />
4. Memulai segalanya dengan cara yang ramah tamah<br />
5. Mencoba merubah orang dalam pendekatan persuasif bukan konfrontatif<br />
6. Biarlah orang yang Anda hadapi itulah yang banyak berbicara<br />
7. Biarlah dia mengira bahwa gagasan terpilih itu datangnya dari dia<br />
8. Coba melihat persoalan melalui kacamata orang lain<br />
9. Bersikaplah simpatik terhadap gagasan dan pemikiran orang lain<br />
10. Sentuhlah perasaan orang lain dengan cara yang baik<br />
11. Jelaskan maksud dan pikiran Anda dengan jelas dan menarik (QS. Fushilat:34)Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-89562381815314386082011-01-15T19:26:00.000-08:002011-01-15T19:26:36.083-08:00Adab Adab Menuntut Ilmu Bagi Perempuan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB6UKk324_YeHqF1ARYrfK4KNSTkMwm7EzfpZHfdFPpvPWdtO6he8WLr02LYUkRNtl24ib10VGUBTGoiwAZQF0Nphx22z_io2TaWyzJ1nOBGuiBWR5fBT6ktvzFDXmQ5vAy3Z-SsWLryw/s1600/ilmu2.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB6UKk324_YeHqF1ARYrfK4KNSTkMwm7EzfpZHfdFPpvPWdtO6he8WLr02LYUkRNtl24ib10VGUBTGoiwAZQF0Nphx22z_io2TaWyzJ1nOBGuiBWR5fBT6ktvzFDXmQ5vAy3Z-SsWLryw/s1600/ilmu2.jpeg" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Tidaklah diragukan bahwa perempuan sederajat dengan lelaki dalam hal kewajiban menjalankan perintah agama. Dimana kewajiban menjalankan perintah itu mencakup seluruh perintah agama seperti memurnikan tauhid, sholat, zakat, haji, puasa…dan lain sebagainya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan telah dimaklumi oleh setiap muslim dan muslimah bahwa perintah-perintah agama itu memiliki syarat-syarat, rukun-rukun dan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi sebagai keabsahan sebuah ibadah atau memenuhi kesempurnaannya. Dan tiada jalan untuk memahami dan menjalankan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunannya yang benar kecuali dengan cara menuntut ilmu agama.<span id="more-666"></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ</span></strong></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><em>“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn1" name="_ftnref1"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berkata Ibnul Jauzy <em>rahimahullâh</em>, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.”<a href="http://an-nashihah.com/#_ftn2" name="_ftnref2"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan tercatat indah dalam sejarah, bagaimana semangat para shahabiyâat <em>radhiyallâhu ‘anhunnâ</em> dalam menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problematika yang tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang terpuji. ‘Aisyah <em>radhiyallâhu ‘anhâ</em> berkata,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshor. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.”</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn3" name="_ftnref3"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan masih banyak dalil yang menunjukkan kewajiban seorang perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan seluruh dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu juga termasuk dalil akan wajibnya perempuan menuntut ilmu, karena perintah pada dalil-dalil itu adalah umum mencakup seluruh umat; laki-laki maupun perempuan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-family: Technical; font-size: 14pt;">Ketentuan Bolehnya Perempuan Keluar Untuk Menuntut Ilmu</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Menetapnya perempuan di rumah adalah suatu hal yang wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah <em>Ta’âlâ</em> berfirman,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Al-Ahzâab :33</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan Nabi <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Janganlah kalian menahan kaum perempuan kalian dari mesjid-mesjid. Dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn4" name="_ftnref4"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ</span></strong><strong></strong></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><em>“Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untuk keperluan kalian.”</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn5" name="_ftnref5"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dalil-dalil di atas merupakan penjelasan bahwa hukum asal bagi perempuan adalah untuk menetap di rumahnya dan tidak boleh keluar darinya kecuali untuk hal yang darurat atau keperluan yang dibenarkan oleh syari’at.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan tentunya keluar untuk menuntut ilmu adalah salah satu keperluan yang diizinkan oleh syariat, apalagi jika yang dituntutnya adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Banyak dalil yang menunjukkkan akan hal tersebut. Di antaranya :</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Hadits Ummu Salamah <em>radhiyallâhu ‘anhâ</em>, beliau berkata,</div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ</span></strong><strong></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Ummi sulaim mendatangi Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu dari kebenaran, apakah ada kewajiban mandi bagi perempuan bila ia mimpi basah? Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menjawab, Iya, bila melihat air.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn6" name="_ftnref6"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Hadits ‘Aisyah <em>radhiyallâhu ‘anhâ</em>, dimana beliau berkata,</div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Fatimah bintu Abi Hubaisy mendatangi Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, saya adalah perempuan yang istihâdhah, tidaklah saya suci, apakah saya (harus) meninggalkan sholat? Maka beliau menjawab, Tidak. Sesungguhnya itu hanyalah sekedar urat dan bukan haidh. Apabila haidhmu telah tiba maka tinggalkanlah sholat dan apabila (haidhmu) telah berlalu maka cucilah darah darimu kemudian sholatlah.”</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn7" name="_ftnref7"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Hadits Abu Sa’id Al-Khudry <em>radhiyallâhu ‘anhu</em>, beliau berkata,</div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Para perempuan berkata kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, kaum lelaki telah mengalahkan kami terhadapmu. Jadikanlah dari dirimu suatu hari (khusus) untuk kami. Maka (beliau) menjanjikan kepada mereka suatu hari yang beliau menemui mereka padanya. Lalu (beliau) menasehati mereka dan memberikan perintah kepada mereka.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn8" name="_ftnref8"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Demikian beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya seorang perempuan untuk keluar dalam rangka menuntut ilmu agama.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Namun harus diketahui bahwa bolehnya perempuan keluar untuk menuntut ilmu adalah dengan beberapa ketentuan dan etika. Di antaranya adalah sebagai berikut:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>1. Tidak terpenuhi dari pihak mahramnya siapa yang mengajarkan ilmu kepadanya.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jika telah terpenuhi dari mahramnya –baik itu ayah, saudara, suami, anak dan yang semisalnya- siapa yang mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, maka menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berkata Ibnul Jauzy <em>rahimahullâh</em>, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan. Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan bagaimana cara menunaikan keawajiban-kewajiban tersebut, maka hal itu telah mencukupinya. Bila tidak, maka dia bertanya dan belajar.”<a href="http://an-nashihah.com/#_ftn9" name="_ftnref9"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan termasuk catatan penting yang harus diingat bahwa hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu tergantung jenis ilmu yang dia akan pelajari. Karena ilmu itu, ada yang sifatnya wajib ‘ain untuk dipelajari, dimana seorang muslimah kapan tidak mengetahuinya maka dia dianggap berdosa dan menelantarkan kewajibannya. Dan ada juga ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, dimana kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lainnya dalam mempelajarinya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang muslimah untuk mempelajari bagaimana cara memurnikan ibadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Maka sangat wajar bila memperlajari dan meyakini tauhid <em>Rubûbiyah</em> Allah, <em>Ulûhiyah</em> dan <em>Al-Asmâ’ wash Sifât</em>-Nya bersih dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokoknya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Seorang muslimah juga wajib untuk memahami hukum-hukum seputar <em>thahârah</em> -tata cara berwudhu, mandi haidh dan <em>janâbah</em>, <em>tayyammum</em>, <em>ahkâm haidh</em>, <em>istihâdhah</em> dan <em>nifâs</em>-. Sebagaimana dia juga wajib mendalami tuntunan sholat, zakat, haji dan puasa yang benar.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Juga wajib terhadapnya untuk mempelajari hukum <em>Ihdâd</em>, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar dari rumah dan lain-lainnya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Yang jelas, setiap perkara yang mesti dilakukan oleh seorang muslimah dalam menegakkan peribadatan kepada Rabb-nya maka merupakan suatu kewajiban untuk mempelajari dan memdalaminya. Tentunya tingkat kewajibannya berjenjang sesuai dengan jenis ibadah wajib yang mesti dia laksanakan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>2. Ada keperluan yang mendesak untuk keluar.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Seperti bila seorang muslimah telah mengalami sebuah problemetika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i, sedangkan tidak ada dari mahramnya yang bisa menjelaskannya atau mempertanyakannya kepada seorang alim yang terpercaya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan di masa ini, kita sepatutnya senantiasa bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada kita sehingga dengan sangat mudah untuk mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ilmi dalam jangka waktu yang singkat. Baik itu melalui media komunikasi, surat dan lain-lainnya.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Tentunya keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah lalu.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>3. Bertanya kepada orang yang tepat.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Bila terdapat dari kalangan perempuan orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepadanya, maka tiada pilihan untuk bertanya kepada kaum lelaki. Dan demikian pula dari orang-orang yang berilmu dia memilih orang yang paling alim di antara mereka.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>4. Terbatas pada keperluan.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dalam posisi seorang muslimah bertanya langsung kapada seorang alim. Bila sang alim telah menjawab atau telah menjelaskan apa yang dia butuhkan, maka tidak boleh dia memperbanyak pembicaraan dengannya yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah karenanya. Allah <em>Ta’âlâ</em> berfirman,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Al-Ahzâb :32</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>5. Tidak boleh bercampur baur (ikhtilâth) dengan guru atau murid-murid lelaki yang ada di majelis.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs <em>radhiyallâhu ‘anhumâ</em>, dimana beliau mendengar Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Jangan sekali-kali seorang lelaki sersendirian dengan perempuan kecuali ada mahram bersamanya.”</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn10" name="_ftnref10"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir <em>radhiyallâhu ‘anhu</em>, Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ</span></strong></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><em>“Hati-hati kalian dari menjumpai perempuan.”</em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Maka seorang lelaki dari Al-Anshôr berkata, “Bagaimana pendapatmu dengan <em>Al-Hamuw</em><a href="http://an-nashihah.com/#_ftn11" name="_ftnref11"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></a>?” Beliau menjawab,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">الْحَمْوُ الْمَوْتُ</span></strong></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><em>“Al-Hamuw adalah maut.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn12" name="_ftnref12"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong>6. Tidak melihat kepada laki-laki yang bukan mahramnya dan bertanya dari belakang hijab.</strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Hal tersebut berdasarkan firman Allah <em>Ta’âlâ</em>,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Al-Ahzâb :53</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan dalam firman-Nya,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">An-Nûr :31</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Demikianlah beberapa etika dan adab dalam menuntut ilmu. Dan tentunya seorang perempuan muslimah ketika keluar dari rumahnya –dalam menuntut ilmu maupun selainnya- ada beberapa etika dan adab yang telah dimaklumi. Seperti berhijab dengan hijab yang syar’i, sebagaimana dalam firman Allah <em>Subhânahu wa Ta’âlâ</em>,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">An-Nûr :31</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan tidak boleh dia menampakkan keindahannya, sebagaimana dalam firman Allah <em>‘Azza wa Jalla</em>,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Al-Ahzâab :33</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;"> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span> </span>“Dua golongan dari penduduk Neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya : Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk sorga dan tidak (pula) menhirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn13" name="_ftnref13"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan tidak boleh keluar dari rumah dengan memakai wangi-wangian, sebagaimana dalam hadits Abu Musâ Al-Asy’ary <em>radhiyallâhu ‘anhu</em>, Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Siapa saja dari kalangan perempuan yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati suatu kaum sehingga mereka mencium baunya maka ia adalah seorang pezina.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn14" name="_ftnref14"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span style="font-family: Technical; font-size: 14pt;">Beberapa Akhlak Terpuji bagi Seorang Penuntu Ilmu</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Seorang penuntut ilmu hendaknya berhias dengan mahligai ketakwaan dalam zhohir dan bathinnya dan mengikhlaskan niatnya karena Allah. Makna ikhlas yaitu engkau meniatkan upaya dan usahamu dalam menuntut ilmu untuk mengangkat kejahilan dari dirimu dan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Allah <em>Ta’âlâ</em> berfirman,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah akan memberikan ilmu kepadamu.</em> <em>Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Al-Baqarah :282</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan Nabi <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Setiap amalan sesuai dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” <span> </span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berkata Ibrahim An-Nakha’iy <em>rahimahullâh</em>, “Siapa yang menuntut suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kepada apa yang mencukupinya.”<a href="http://an-nashihah.com/#_ftn15" name="_ftnref15"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan berkata Al-Hasan Al-Bashry <em>rahimahullâh</em>, ”Siapa yang menuntut suatu ilmu ini, lalu ia menghendaki apa yang ada disisi Allah ia akan mendapatkannya -insyaAllah-. Dan siapa yang menghendaki dunia karenanya,<span> </span>maka -demi Allah- itulah bagiannya dari ilmu itu.”<a href="http://an-nashihah.com/#_ftn16" name="_ftnref16"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan hendaknya engkau memakmurkan zhohir dan bathinmu dengan rasa takut kepada Allah dan terus menerus merenungi kekuasaan dan kebesaran Allah. Ketahuilah bahwa ilmu itu bukan sekedar pengetahuan tanpa ada <em>khasy-yah</em> (rasa takut) kepada Allah.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berkata Ibnu Mas’ûd <em>radhiyallâhu ‘anhu</em>, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak periwayatan, tapi ilmu itu adalah <em>Al-Khasy-yah</em>.”<a href="http://an-nashihah.com/#_ftn17" name="_ftnref17"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[17]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Bahkan Allah <em>‘Azza wa Jalla</em> berfirman,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Fâthir : 28</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan bersemangatlah kalian para penuntut ilmu untuk beramal dengan ilmu yang telah engkau pelajari, sebab ilmu itu dipelajari untuk diamalkan. Dan dengan mengamalkan ilmu itu engkau akan mendapat tambahan anugrah ilmu dan berbagai keutamaan serta kebaikan. Allah <em>‘Azza wa Jalla</em> telah menjanjikan dalam firman-Nya,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (mereka),</em> <em>dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,</em> <em>dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">An-Nisâ` :66-68</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan komitmenlah dalam menegakkan ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang disunnahkan sebab itu adalah salah satu sifat seorang yang faqih (paham agama). Berkata Al-Hasan Al-Bashry <em>rahimahullâh</em>, “Seorang yang faqih adalah orang yang zuhud pada dunia, mendalam ilmu agamanya dan terus menerus di atas ibadah kepada Rabb-nya.”<a href="http://an-nashihah.com/#_ftn18" name="_ftnref18"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[18]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan peliharahlah segala perintah dan ketentuan Allah pada dirimu dan jangan engkau menelantarannya. Ingatlah selalu wejangan Rasulullah <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> kepada Ibnu ‘Abbâs <em>radhiyallâhu ‘anhumâ</em>,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati Allah di hadapanmu.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn19" name="_ftnref19"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[19]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan berhati-hatilah –wahai saudari penuntut ilmu- dari sifat hasad, sebab itu adalah penyakit yang telah banyak menghambat jalan para penuntut ilmu. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">An-Nisâ` :54</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan obatilah penyakit itu dengan selalu mengingat firman-Nya,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Az-Zukhruf :32</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan berwaspadalah dari sikap bangga terhadap ilmu yang engkau dapatkan dan hindarkan dirimu dari sikap congkak. Allah telah mengingatkan,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”</em> <span style="font-size: 10pt;">[</span><strong><span style="font-size: 10pt;">Luqmân :18</span></strong><span style="font-size: 10pt;">]</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dan Nabi <em>shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam</em> telah bersabda,</div><div align="center" class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: center; unicode-bidi: embed;"><strong><span lang="AR-SA" style="color: black; font-family: "Traditional Arabic"; font-size: 14pt;">لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em>“Tidak akan masuk sorga siapa yang terdapat sebesar dzarrah dari sikap sombong dalam hatinya.”</em> <a href="http://an-nashihah.com/#_ftn20" name="_ftnref20"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">[20]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala jalan dalam menuntut ilmu dan membukakan untuk kita semua pintu-pintu kebaikan dan rahmat. <em>Wallâhu Ta’âlâ A’lam</em>.<span style="font-family: Wingdings;"><span>@</span></span></div><div><!--[if !supportFootnotes]--> <hr size="1" /><!--[endif]--> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref1" name="_ftn1"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Hadits hasan diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishohihkan oleh Al-Albâny dalam <strong><em>Takhrîj Musykilatul Faqr</em></strong> hal 80 dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil –sebagaimana yang kami dengar dari beliau-. Dan As-Suyuthi mempunyai risalah tersendiri dalam mengumpulkan jalan-jalan periwayatan hadits ini.</div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref2" name="_ftn2"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> <strong><em>Ahkâm An-Nisâ`</em></strong> karya Ibnul Jauzy hal. 7</div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref3" name="_ftn3"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Muslim no. 500, Abu Dâud no. 270 dan Ibnu Mâjah no. 634.</div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref4" name="_ftn4"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Ahmad 2/76, 76-77, Abu Dâud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1684, Al-Hâkim 1/259 dan Al-Baihaqy 3/131 dari Ibnu ‘Umar <em>radhiyallâhu ‘anhumâ</em>. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dari seluruh jalannya dalam <strong><em>Irwâ`ul Gholîl</em></strong> 2/294 dan dalam <strong><em>Ats-Tsamar Al-Mustathôb</em></strong> 2/730.</div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref5" name="_ftn5"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim no. 2170.</div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref6" name="_ftn6"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim no. 313, At-Tirmidzy no. 122, An-Nasâ`i 1/114-115 dan Ibnu Mâjah no. 600.<span> </span></div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref7" name="_ftn7"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah.</div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref8" name="_ftn8"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam <strong><em>As-Sunan Al-Kubrô</em></strong>.</div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref9" name="_ftn9"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> <strong><em>Ahkâm An-Nisâ`</em></strong> karya Ibnul Jauzy hal. 7</div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref10" name="_ftn10"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam <strong><em>‘Usyratun Nisâ`</em></strong> no. 334.</div></div><div id="ftn11"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref11" name="_ftn11"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Yang dimaksud dengan <em>Al-Hamuw</em> di sini adalah kerabat suami seperti saudara, anak saudara, paman, anak paman dan yang semisalnya. Demikian keterangan An-Nawawy dalam <strong><em>Al-Minhâj</em></strong> 7/161-162 (cet. Dâr Alam Al-Kutub)</div></div><div id="ftn12"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref12" name="_ftn12"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy dan An-Nasâ`iy dalam <strong><em>‘Usyratun Nisâ`</em></strong> no. 334.</div></div><div id="ftn13"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref13" name="_ftn13"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah <em>radhiyallâhu ‘anhu</em>.</div></div><div id="ftn14"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref14" name="_ftn14"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Ahmad 4/414, Abu Dâud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786 dan An-Nasâ`i dengan sanad yang shohih.</div></div><div id="ftn15"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref15" name="_ftn15"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Ad-Dârimi no. 265 dengan sanad yang shohih.</div></div><div id="ftn16"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref16" name="_ftn16"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Ad Dârimy no 254 dengan sanad yang shohih.</div></div><div id="ftn17"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref17" name="_ftn17"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[17]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam <strong><em>Jâmi’ Bayân Al-Ilmi wa Fadhlih</em></strong> 2/25 dengan sanad yang shohih.</div></div><div id="ftn18"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref18" name="_ftn18"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[18]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/147 dengan sanad yang hasan.</div></div><div id="ftn19"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref19" name="_ftn19"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[19]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Ahmad 1/293 dan At-Tirmidzy no. 2016 dengan sanad yang hasan.</div></div><div id="ftn20"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="http://an-nashihah.com/#_ftnref20" name="_ftn20"><span class="MsoFootnoteReference"><span><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10pt;">[20]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dâud, At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah.</div><div class="MsoFootnoteText">Sumber: http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=AnNisa&article=84</div></div></div>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-11075536485178287372011-01-15T19:16:00.000-08:002011-01-15T19:16:34.902-08:00Adab Adab Menuntut Ilmu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFQfWVpfwcudOfZd6oZN86-JqRptspeT5OyL8EeP0twrGhCLiK9LlGDkmqgjV0phBl2pYx8b4l6jrAZiPsl3hwPvp-6wjIGRScTPEdgqgm-TYzGMwfuxwEHvnYPSngxVbNuVKB907Y00o/s1600/ilmu.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFQfWVpfwcudOfZd6oZN86-JqRptspeT5OyL8EeP0twrGhCLiK9LlGDkmqgjV0phBl2pYx8b4l6jrAZiPsl3hwPvp-6wjIGRScTPEdgqgm-TYzGMwfuxwEHvnYPSngxVbNuVKB907Y00o/s1600/ilmu.jpeg" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;">Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du. Para pembaca yang budiman, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini. Nah, untuk bisa meraih apa yang kita idam-idamkan ini tentunya ada adab-adab yang harus diperhatikan agar ilmu yang kita peroleh membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukannya malah menebarkan fitnah atau justru menyulut api hizbiyah. Wallaahul musta’aan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB PERTAMA</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mengikhlaskan Niat untuk Allah ‘azza wa jalla</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yaitu dengan menujukan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19). Pujian terhadap para ulama di dalam al-Qur’an juga sudah sangat ma’ruf. Apabila Allah memuji atau memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu bernilai ibadah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KEDUA</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dia berniat dalam menuntut ilmu demi mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Sebab pada asalnya manusia itu bodoh, dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian bersyukur.” (QS. An Nahl: 78). Demikian pula niatkanlah untuk mengangkat kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kau miliki.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KETIGA</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bermaksud Membela Syariat</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yaitu dalam menuntut ilmu itu engkau berniat untuk membela syariat, sebab kitab-kitab yang ada tidak mungkin bisa membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid’ah datang ke perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid’ahannya dan menyatakannya dengan lantang, saya kira tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya. Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid’ahannya di sisi orang yang berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan menolak perkataannya dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu saya katakan: Salah satu hal yang harus senantiasa dipelihara di dalam hati oleh penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Manusia kini sangat membutuhkan keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membantah tipu daya para ahli bid’ah serta seluruh musuh Allah ‘azza wa jalla.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KEEMPAT</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan uzur. Dan bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran diberikan uzur. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kita pun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yang saya maksud di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush shalih, akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai penyebab permusuhan dan kebencian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan baik dengan didasari kehendak untuk mencari wajah Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap, bahkan terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal: 46)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KELIMA</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Beramal Dengan Ilmu</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KEENAM</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdakwah di Jalan Allah</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Saya tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin tulisan yang ada di buku-buku, namun yang saya inginkan adalah mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KETUJUH</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bersikap Bijaksana (Hikmah)</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yaitu dengan menghiasi dirinya dengan kebijaksanaan, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah: 269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah ‘azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Tuhan kita ‘azza wa jalla yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Allah ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl: 125). Dan Allah ta’ala telah menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS. al-’Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih mudah diterima oleh pemahaman orang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KEDELAPAN</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penuntut Ilmu Harus Bersabar Dalam Menuntut Ilmu</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yaitu hendaknya dia sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu, tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar; ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang baik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KESEMBILAN</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka Sesuai Kedudukannya</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KESEPULUH</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berpegang Teguh Dengan Al Kitab dan As Sunnah</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Wajib bagi penuntut ilmu untuk memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari pokok-pokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah :</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">1. Al-Qur’an Al-Karim</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta mengamalkannya karena al-Qur’an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah landasan seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam menelaah al-Qur’an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik, ini merupakan kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya senantiasa mengulang-ulangi bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam menghafalkan al-Qur’an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">2. As Sunnah yang shahihah</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ia merupakan sumber kedua dari sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur’an al Karim, maka menjadi kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah, menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan Ahlu bid’ah guna menentang as-Sunnah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">ADAB KESEBELAS</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Salah satu adab terpenting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuang-buang waktunya tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara terpenting yang harus dilakukan adalah ta’shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul) dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan perantara nama-nama-Mu yang terindah dan sifat-sifat-Mu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang, kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun aku selalu lalai dan tidak pandai mensyukuri pemberian-Mu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini, untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya, ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para penduduk surga semakin bergembira dan para penghuni neraka bertambah sedih dan merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adab-adab ini disadur dari Thiibul Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-’Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi</div>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-80798643992409516462010-12-28T21:35:00.000-08:002010-12-28T21:35:07.113-08:00Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyUc0oxnA492zsdYdhd_-3EIdhrulSc7KVQqg1Wj7dvPd-UQlCJd_Cc236Zp3fX48oHLR8usvFRhpnAe7qLrnR7r_uf9vRPXu21viT-m5n1Erlf4Kpo71kyhV4kU-pnuqi6ZAssjiy34w/s1600/akk.jpeg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyUc0oxnA492zsdYdhd_-3EIdhrulSc7KVQqg1Wj7dvPd-UQlCJd_Cc236Zp3fX48oHLR8usvFRhpnAe7qLrnR7r_uf9vRPXu21viT-m5n1Erlf4Kpo71kyhV4kU-pnuqi6ZAssjiy34w/s1600/akk.jpeg" /></a> <br />
Ada beberapa pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun baru masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya dengan syarat. <br />
<br />
1. Pendapat yang Mengharamkan Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, memiliki beberapa argumentasi di antaranya:<br />
<br />
a. Perayaan malam tahun baru adalah ibadah orang kafir.<br />
Perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya. Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malamtahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir Nabi Isa. Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.<br />
<br />
b. Perayaan malam tahun baru menyerupai perbuatan orang kafir.<br />
<br />
Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:<em> “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Daud).</em><br />
<br />
c. Perayaan malam tahun baru penuh maksiat. <br />
<br />
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan<br />
malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hurahura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam. Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.<br />
<br />
d. Perayaan malam tahun baru adalah bid`ah. <br />
<br />
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal, sehingga apabila seseorang melakukan suatu kegiatan ritual keagamaan misalnya membaca ayatayat tertentu, atau sholat dengan bilangan tertentu yang dihubungkan dengan malam tahun baru masehi maka hukumnya bid’ah.<br />
<br />
2. Pendapat yang Membolehkan Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan<br />
<br />
malam tahun baru Masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikutikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi jika tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya. Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikutikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka? <br />
<br />
Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja. Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, maka boleh boleh saja hukumnya. Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya. Misalnya, umat Islam memanfaatkan event malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan, bersilaturahmi dengan keluarga, muhasabah dan introspeksi diri dan sebagainya. Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyUc0oxnA492zsdYdhd_-3EIdhrulSc7KVQqg1Wj7dvPd-UQlCJd_Cc236Zp3fX48oHLR8usvFRhpnAe7qLrnR7r_uf9vRPXu21viT-m5n1Erlf4Kpo71kyhV4kU-pnuqi6ZAssjiy34w/s1600/akk.jpeg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><br />
</a></div><em>Wallahu a’lam bishshawab.</em>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-73567818079596963772010-12-24T23:20:00.000-08:002010-12-24T23:32:54.483-08:00Hakekat Wisata Dalam Islam<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBRKtBGYZCyzC2NTA-1_KIjMtj_5yiwtbTFrWKeN7wioBK7K9ykq5s-SU__gZd8hMjF6JND-4sagAeF2C954Fa4b3pYr3SB5yuOlbx-NTrmicG2g3haqKTEd71ngONevWk7XOqMJIjjqU/s1600/wisata.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBRKtBGYZCyzC2NTA-1_KIjMtj_5yiwtbTFrWKeN7wioBK7K9ykq5s-SU__gZd8hMjF6JND-4sagAeF2C954Fa4b3pYr3SB5yuOlbx-NTrmicG2g3haqKTEd71ngONevWk7XOqMJIjjqU/s1600/wisata.jpg" /></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kata Wisata menurut bahasa mengandung arti yang banyak. Akan tetapi dalam istilah yang dikenal sekarang lebih dikhususkan pada sebagian makna itu. Yaitu, yang menunjukkan berjalan-jalan ke suatu negara untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari dan menyaksikan (sesuatu) atau semisal itu. Bukan untuk mengais (rezki), bekerja dan menetap. Silakan lihat kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Berbicara tentang wisata menurut pandangan Islam, maka harus ada pembagian berikut ini,</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Pertama: Pengertian wisata dalam Islam. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Islam datang untuk merubah banyak pemahaman keliru yang dibawa oleh akal manusia yang pendek, kemudian mengaitkan dengan nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata dalam pemahaman sebagian umat terdahulu dikaitkan dengan upaya menyiksa diri dan mengharuskannya untuk berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai hukuman baginya atau zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk menghapuskan pemahaman negatif yang berlawanan dengan (makna) wisata. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh." (Talbis Iblis, 340). </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu Rajab, 1/56) </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Kamudian Islam datang untuk meninggikan pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di antaranya </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">1. Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga mengharuskan adanya safar -atau wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam agama yaitu haji pada bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah Ta’ala dalam satahun. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Ketika ada seseorang datang kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama, yaitu safar dengan makna kerahiban atau sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata dengan mengatakan kepadanya, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR. Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641). Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">2. Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits’, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Di antaranya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala: </div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; margin-left: 18pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;">التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة التوبة: 112)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS. At-Taubah: 112) </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’ mereka adalah pencari ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul Qadir, 2/408. Meskipun penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan ‘As-Saaihin’ adalah orang-orang yang berpuasa. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">3. Di antara maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat. Allah berfirman: “Katakanlah: 'Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Dalam ayat lain, “Katakanlah: 'Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS. An-Naml: 69)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">4. Mungkin di antara maksud yang paling mulia dari wisata dalam Islam adalah berdakwah kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan kepada manusia cahaya yang diturunkan kepada Muhammad sallallahu alaihi wa sallam. Itulah tugas para Rasul dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka dari kalangan para shahabat semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami berharap wisata yang ada sekarang mengikuti wisata yang memiliki tujuan mulia dan agung. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">5. Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam Islam adalah safar untuk merenungi keindahan ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi menunaikan kewajiabn hidup. Karena refresing jiwa perlu untuk memulai semangat kerja baru. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: </div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; text-align: justify; unicode-bidi: embed;">قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (سورة العنكبوت: 20)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Kedua: Aturan wisata dalam Islam </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Dalam ajaran Islam yang bijaksana terdapat hukum yang mengatur dan mengarahkan agar wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah disebutkan tadi, jangan sampai keluar melewati batas, sehingga wisata menjadi sumber keburukan dan dampak negatif bagi masyarakat. Di antara hukum-hukum itu adalah:</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">1. Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan tempat tertentu kecuali tiga masjid. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa sallam bersabda: </div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; margin-left: 18pt; text-align: justify; unicode-bidi: embed;">لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاري، رقم 1132 ومسلم، رقم 1397)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa saal dan Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Hadits ini menunjukkan akan haramnya promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi ke selain tiga masjid, seperti ajakan mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan. Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang diagungkan selain tiga tempat tadi. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Aku pergi Thur (gunung Tursina di Mesir), kemudian aku bertemu Ka’b Al-Ahbar, lalu duduk bersamanya, lau beliau menyebutkan hadits yang panjang, kemudian berkata, "Lalu aku bertemu Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur." Lalu beliau mengatakan, "Jika aku menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka (akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR. Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i) </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju tempat suci selain tiga tempat ini. Hal itu bukan berarti dilarang mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara muslim, karena kunjungan kesana dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar dengan niat seperti itu. Kalau ada tujuan lain dalam safar, lalu diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan shalat berjamaah. Yang keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke tempat-tempat suci agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung Budha atau lainnya yang serupa. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">2. Ada juga dalil yang mengharamkan wisata seorang muslim ke negara kafir secara umum. Karena berdampak buruk terhadap agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apab ila tidak ada keperluan dalam safar tersebut seperti untuk berobat, berdagang atau semisalnya, kecuali Cuma sekedar bersenang senang dan rekreasi. Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak perlu pergi ke negara orang kafir. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah, akhlak, akibat bercampur dan menetap di tengah orang kafir di antara mereka. Akan tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke negara mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau safar untuk belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk berdagang, kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke negara kafir dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan melaksanakan agamanya di negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke negeri Islam. Adapun kalau safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan. Karena seorang muslim tidak membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang sama atau yang lebih kuat dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama dan keyakinan. (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">3. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan, berbagai kemaksiatan seperti di pinggir pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan. Atau juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang muslim diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus (kedalamnya) dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: “Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata. Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/332)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Bagaimana dengan wisata yang menganjurkan kemaksiatan dan prilaku tercela, lalu kita ikut mengatur, mendukung dan menganjurkannya?</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah juga berkata: “Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/224)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">4. Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat terdahulu dan situs-situs kuno , jika itu adalah bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan. </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, ada di kota Al-Bada di provinsi Tabuk terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di gunung. Sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi Syu’aib alaihis salam. Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak ada dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi orang yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud mengambil pelajaran dan nasehat?</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib alaihis shalatu was salam berada di arah barat daya Jazirah Arab yang sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan sekedar melihat-lihat. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau bersabda: “Janganlah kalian memasuki tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian tertimpa seperti yang menimpa mereka, kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala dan berjalan cepat sampai melewati sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika menjelaskan manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di antaranya adalah barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai dan turunkan azab, tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya, tetapi hendaknya dia mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat. Tidak boleh memasukinya kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran. Dengan landasan ini, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di wadi (sungai) Muhassir antara Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah membinasakan pasukan gajah dan orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup negeri Tsamud dan negeri lainnya yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan mereka." (Fathul Bari, 6/380).</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;">Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi Arabia jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu Ihyai Diyar Tsamud (hukum menghidupkan perkampungan Tsamud). </div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">5. Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk wisata yang di dalamnya banyak tasahul (mempermudah masalah) dan campur baur yang diharamkan</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">6. Adapun mengatur wisata untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai keluar. Akan tetapi keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati agama Islam, akhlak umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua tempat suci; Mekkah dan Madinah. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Ketiga:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> Tidak tersembunyi bagi siapa pun bahwa dunia wisata sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala perbuatan buruk dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri, telanjang di tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas, meminum khamar, memasarkan kebejatan, menyerupai orang kafir, mengambil kebiasaan dan akhlaknya bahkan sampai penyakit mereka yang berbahaya. Belum lagi, menghamburkan uang yang banyak dan waktu serta kesungguhan. Semua itu dibungkus dengan nama wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan terhadap agama, akhlak dan umatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jangan sampai menjadi penolong untuk mempromosikan wisata fasik ini. Akan tetapi hendaknya memeranginya dan memerangi ajakan mempromosikannya. Hendaknya bangga dengan agama, wawasan dan akhlaknya. Hal tersebut akan menjadikan negeri kita terpelihara dari segala keburukan dan mendapatkankan pengganti keindahan penciptaan Allah ta’ala di negara islam yang terjaga. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Wallahu’alam . </div>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-38717703371036878262010-12-24T23:09:00.000-08:002010-12-24T23:09:40.387-08:00Berkunjung Keborobudur???? (Sebuah Pandangan Islam vs Budaya)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnQwVjtiuGNkwrbu5XzI7lPaIw9JZvI3ADMsMo8VNEikGnCYffVC97KZzD2W9a3eVGBFZ9NtGWpW1W1TNY7XZ4ucZuAkqrdRzrDEfgJTSfwXm5Vh6y3v2Vg-JTk_bxDdgojKmscUy4yfI/s1600/borobudur-temple-01.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="194" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnQwVjtiuGNkwrbu5XzI7lPaIw9JZvI3ADMsMo8VNEikGnCYffVC97KZzD2W9a3eVGBFZ9NtGWpW1W1TNY7XZ4ucZuAkqrdRzrDEfgJTSfwXm5Vh6y3v2Vg-JTk_bxDdgojKmscUy4yfI/s320/borobudur-temple-01.jpg" width="320" /></a></div><div class="post-author"> <span class="author vcard"><a class="url fn n" href="http://duniainikecil.wordpress.com/author/mivt/" title="View all posts by Fazza"><br />
</a></span> </div><br />
Wah wah wah….. candi yang megah ya….” Mungkin ini kata yang akan pertama kali yang akan keluar dari salah satu wisatawan yang mengunjungi salah satu keajaiban dunia yang bertempat di kota Magelang, Indonesia.<br />
Memang bener sih, candinya bagus, besar, dan waaaahhhh. (saya rasa kita semua setuju akan hal ini),,, namun Ust. Zezen Zainal Mursalin, Lc (alumni Univ. Madinah), beliau mengatakan hal yang belum pernah terpikirkan di pikiran saya, dan mungkin anda juga demikian. Saya mendapatkan sesuatu yang membuat saya menjadi termenung dan harus menyendiri memikirkannya…. cieeeee<br />
ya,,,<strong> Berkunjung ke Borobudur</strong>,,,, itulah topik yang akan kita kaji bersama…<br />
Sebelumnya saya sampaikan, saya akan berbicara di kedua sisi baik dari agama yang saya cintai (<strong>Islam</strong>) dan budaya negara yang saya huni (<strong>Indonesia</strong>). (sok pro nih)<br />
Borobudur, merupakan suatu tempat yang tak bisa di elakkan di mata dunia internasional (keajaiban dunia getuuw), selain sebagai tempat untuk mendatangkan income yang lumayan besar, borobudur juga menjadi salah satu jati diri negara Indonesia. Dan mungkin masih banyak lagi kelebihan yang dimiliki bangunan kuno ini.<br />
Namun di balik itu semua terdapat satu kontroversi besar di dalamnya. khususnya bagi Muslim Indonesia yang akan dan telah berkunjung ke Borobudur. Mengapa saya mengatakan demikian?<br />
Ust. Zezen Zainal Mursalin, Lc dalam salah satu kuliahnya menjelaskan mengenai hukum berkunjung ke Borobudur dalam Islam.<br />
Beliau menyampaikan bahwa hukum <em><strong>berkunjung/berwisata ke Borobudur adalah haram, </strong></em>dan sangat dilarang dalam Islam (Lho kok????)<br />
Lho kok??? (Anda bertanya-tanya, saya juga demikian pada awalnya) Namun beliau tidak hanya mengeluarkan fatwa haram tanpa memberikan suatu alasan yang jelas (Ini menunjukkan sikap profesional beliau dalam berdakwah). Alasan yang beliau berikan adalah sangat jelas, yaitu <strong>Borobudur adalah salah satu tempat kemusyrikan,</strong> salah satu simbol dari agama lain. dan tentu saja sebagai Umat Muslim yang taat, akan menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau kemusyrikan seperti mendatangi dukun, pesugihan, dan tentu saja kita dituntut untuk membenci agama selain agama islam. Karena hanya Agama Islamlah yang diridhai Allah azza wa jalla (QS: Ali-Imran:19)<br />
Sehingga dari fatwa beliau ini menunjukkan pengharaman juga dalam mendatangi tempat peribadatan agama lain…<br />
<em>Tapi ini kan budaya bangsa kita?</em> well, emang bener sih,,, tapi agama tetep nomor 1 lah. nih buktinya tempat itu adalah tempat kemusyrikan (ada berhalanya euyy)<br />
<div class="wp-caption aligncenter" style="width: 480px;"><img alt="berhalanya borobudur" height="600" src="http://vibizdaily.com/resources/images/uploaded/image/BUDAYA/2009/Borobudur%20Temple.jpg" title="Berhala Borobudur" width="470" /><div class="wp-caption-text">berhala di borobudur</div></div>Gak cuma itu lhooo,,, ternyata di borobudur juga terdapat banyak sekali pemahaman-pemahaman yang nyeleneh, dan meskipun nyeleneh tapi anehnya banyak juga yang melakukannya.Diantara kegiatan nyelenehnya yaitu Orang berkeyakinan dapat memperoleh kekayaan dengan bersemedi atau melakukan ritual khusus lainnya. wah wah wah.. syirik banget kan…<br />
Nah kalo gitu kita sbg muslim yang taat dan warga negara Indonesia yang baik mesti ngapain donk????<br />
Alhamdulillah, syariat islam selalu memberikan lebih banyak solusi dari pengharaman suatu hal. nih solusi yang ada…<br />
<ol><li>kita cukup merasa bahwa borobudur adalah salah satu bangunan di Indonesia yang bernilai budaya, tapi jangan terlalu bangga ye…</li>
<li>kalo mo rekreasi, yah ke tempat laen aja, di Indonesia masih banyak kok tempat rekreasi yang menarik lainnya (kalo pergi ke sana kan berarti kita dah nambah income para budha (budha punya kantong juga lho-liat aja film sun go kong- hehehe)</li>
<li>kamu yang nambah ya…. hehehe</li>
</ol>wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuhu…. smoga bermanfaat ^_^<br />
sumber : http://duniainikecil.wordpress.com/2010/07/18/berkunjung-ke-borobudur-sebuah-pandangan-islam-vs-budaya-indonesia/Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-39094049924037398222010-12-20T01:43:00.000-08:002010-12-20T01:43:34.180-08:00Keutamaan Bulan MuharramBulan Muharram telah tiba. Bulan ini dalam perhitungan tahun Islam, tahun Hijriyah memiliki kedudukan yang sangat terhormat dan disucikan. Dengan melihat namanya saja kita bisa mengetahui bahwa bulan ini adalah bulan suci. Muharram, yang berarti disucikan dan dimuliakan. Dinamakan demikian sebagai penegasan akan kesucian dan kemulian bulan ini. Dan secara syara’, bulan ini termasuk bulan suci yang empat, sebagaimana firman Allah. <br />
<div style="text-align: right;">إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ .. (التوبة:36)</div>Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, (at-Taubah:36)<br />
<span id="more-251"></span><br />
Di dalam hadis Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Rasulullah saw menjelaskan secara terperinci nama-nama bulan yang disuci tersebut <br />
<div style="text-align: right;">السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ </div>Satu tahun ada 12 bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan suci, tiga bulan (suci tersebut) berturut-turut yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram, dan Rajab .. yang terletak antara Jumada (Tsaniyah) dengan Sya’ban (HR al-Bukhari)<br />
Pada bulan-bulan suci ini kaum muslimin ditekankan untuk menjauhi berbagai pelanggaran. Peringatan Allah tersebut bisa kita baca pada surat at-Taubah ayat 36 di atas. Jika seseorang melakukan pelanggaran pada bulan ini, maka dosanya lebih besar dari pada ketika dilakukan pada bulan-bulan yang lain.<br />
Ibnu Abbas menjelaskan firman Allah, “maka janganlah kalian menganiaya diri kalian pada bulan yang empat itu..” larangan berbuat dhalim itu berlaku secara umum pada setiap waktu dan setiap bulan. Lalu Allah mengkhususkan empat bulan yang disucikan, sebab bulan-bulan itu telah disucikan dan diagungkan. Maka Allah menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar, dan pahala yang dilakukan pada bulan itu pun lebih besar.<br />
Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi, murid Ibnu Mas’ud menjelaskan firman Allah tersebut, “Sesungguhnya kedhaliman pada bulan haram adalah kesalahan dan dosa yang lebih besar daripada kedhaliman yang dilakukan pada bulan-bulan yang lainnya. Meskipun kedhaliman itu secara umum adalah dosa besar, tetapi Allah membesarkan suatu urusan sesuai dengan kehendakNya. (Tafsir Ibnu Katsir)<br />
Berkaitan dengan keutamaan bulan Muharram inilah, maka Rasulullah mengajarkan kepada ummat Islam agar memperbanyak melakukan puasa sunnah. <br />
<div style="text-align: right;">عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ . </div>Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda; Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadlan adalah puasa di bulam Allah Muharram (HR Muslim)<br />
Rasulullah menyandarkan bulan mharram ini dengan kata Allah, “bulan Allah” untuk menegaskan keutamaan dan kesuciannya. Al-Qari mengatakan, secara dhahir hadis tersebut bisa difahami bahwa keseluruhan bulan muharram adalah suci. Tetapi Rasulullah tidak pernah berpuasa pada bulan ini secara utuh, 30 hari. Rasulullah selalu berpuasa satu bulan penuh hanya pada bulan Ramadlan. Maka hadis ini bisa difahami sebagai dorongan kepada ummat Islam untuk memperbanyak ibadah puasa pada bulan Muharam ini. Bahkan ada hadis-hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah yang paling sering berpasa sebulan penuh di luar bulan Ramadlan, adalah pada bulan Sya’ban. Dari sini bisa diperkirakan, turunnya wahyu kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram terjadi pada akhir masa hidup beliau (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim)<br />
Dalam persoalan ini, keutamaan sesuatu, baik waktu maupun tempat adalah sebuah ketentuan dari Allah yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Al-‘Izzu bin Abdus salam rh berkata, Pengutamaan tempat dan waktu terbagi menjadi dua macam, Pertama berdasarkan atas pertimbangan duniawi. Kedua dengan pertimbangan keagamaan. Pengutamaan yang didasarkan atas pertimbangan keagamaan mengacu pada adanya ketentuan dari Allah, seperti melipatgandakan pahala seorang yang melakukan amal shaleh. Sebagai contoh adalah keutaman bulan Ramadlan, didasarkan atas adanya riwayat yang menjelaskan bahwa berpuasa pada bulan ramadlan itu lebih utama dari puasa pada bulan-bulan yang lain. Demikian juga keutamaan puasa Asyura. Jadi, keutamaan sesuatu mengacu kepada kebaikan yang dibukakan oleh Allah bagi hamba-hambaNya (Qawa’id al-Ahkam I :38)<br />
Asyura dalam lintasan sejarah<br />
Tanggal sepuluh bulan Muharram biasa disebut dengan nama Asyura. Kata Asyura berasal dari kata ‘Asyara yang berarti sepuluh. <br />
Sejarah bangsa Arab sebelum Islam telah biasa menghormati bulan Muharram, dan lebih khusus lagi tanggal yang ke sepuluh. Kaum Jahiliah dalam menghormati hari Asyura ini pun juga melaksanakan puasa, sebagaimana disebutkan bahwa Aisyah telah meriwayatkan sebuah berita,<br />
<div style="text-align: right;">إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه</div>Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya kaum jahiliyah dahulu melaksanakan puasa pada hari Asyura<br />
Bahkan sebelum diwajibkannya puasa pada bulan Ramadlan telah disebutkan di dalam beberapa riwayat bahwa Rasulullah saw telah biasa melakukan puasa Asyura. <br />
<div style="text-align: right;">عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ</div>Dari aisyah ra, ia berkata, “Mereka berpuasa pada hari Asyura sebelum diwajibkan puasa bulan Ramadlan. Hari itu adalah hari diselamatkannya Ka’bah. Ketika Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadlan rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mau berpuasa silakan, dan siapa yang mau meninggalkannya silakan” (al-Bukhari) <br />
Ketika berada di Madinah itulah, orang-orang Yahudi bermacam-macam cara dalam menghadapi hari Asyura. Ada di antara mereka yang berpuasa pada hari itu, dan ada juga menjadikan hari Asyura sebagai hari raya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura<br />
<div style="text-align: right;">قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى ، قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . </div>Nabi saw datang di Madinah lalu beliau melihat kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura, maka beliau bertanya, “Ada apa ini? Para shahabat menjawab, “Ini adalah hari baik, sebab hari ini Allah menyelamatkan Bani Israel dari kejaran musuh-musuhnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini”. Nabi bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian, maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan (para shahabat) untuk berpuasa (HR al-Bukhari)<br />
Tetapi Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan bahwa kaum Yahudi menjadikan hari Asyura ini sebagai hari Raya. <br />
<div style="text-align: right;">كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا </div>Hari Asyura oleh kaum Yahudi dijadikan hari raya (al-Bukhari)<br />
Pada hari raya itu, umumnya manusia mengisinya dengan bersenang-senang dan bergembira. Di dalam Islam, pada waktu hari raya diharamkan berpuasa. Karena itulah Rasulullah memilih untuk berpuasa agar berbeda sikap dengan kaum Yahudi, yang menjadikan hari itu sebagai hari raya.<br />
Keutamaan Puasa Asyura <br />
Rasulullah saw telah menyebutkan bahwa puasa pada hari Asyura ini bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lalu. Sabda Rasulullah saw,<br />
<div style="text-align: right;">وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ</div>Dan puasa pada hari Asyura aku berharap kepada Allah untuk menghapus (dosa-dosa) setahun yang lampau (HR Muslim)<br />
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa pada mulanya, dalam melaksanakan puasa Asyura ini Rasulullah hanya berpuasa pada tanggal 10 saja. Tetapi, ketika diberitahukan bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada hari itu, maka kemudian beliau berkeinginan menambah sehari sebelumnya. Namun belum sempat beliau berpuasa pada tanggal 9 dan sepuluh, beliau telah wafat. Meskipun demikian beliau telah memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada tanggal 9 dan sepuluh sebagaimana hadis;<br />
<div style="text-align: right;">صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ</div>Berpuasalah pada tanggal 9 dan 10, dan berselisihlah dengan kaum yahudi (at-Tirmidzi)Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-26607516614152354512010-12-19T01:45:00.000-08:002010-12-19T01:45:10.090-08:00Janji Allah Kepada Orang Yang Akan Menikah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihpYAK8Bui5zlvzJl7Fu8ZG-7nx3_i9d_ut6qakqNQp4k6rOUPzjyZ4YONDRhqU-IOzxB6G5-1inwrJ9zdH9oTPcxxnB-lk2A8YLvsvFtCWsu1D6MZnawPdBtb0ByYjaFXtkAnI4BCykc/s1600/pengantin.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihpYAK8Bui5zlvzJl7Fu8ZG-7nx3_i9d_ut6qakqNQp4k6rOUPzjyZ4YONDRhqU-IOzxB6G5-1inwrJ9zdH9oTPcxxnB-lk2A8YLvsvFtCWsu1D6MZnawPdBtb0ByYjaFXtkAnI4BCykc/s1600/pengantin.jpeg" /></a></div><br />
Ketika seorang muslim baik pria atau wanita akan menikah, biasanya akan timbul perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa gundah, resah, risau, bimbang, termasuk juga tidak sabar menunggu datangnya sang pendamping, dll. Bahkan ketika dalam proses taaruf sekalipun masih ada juga perasaan keraguan. <br />
<br />
Berikut ini sekelumit apa yang bisa saya hadirkan kepada pembaca agar dapat meredam perasaan negatif dan semoga mendatangkan optimisme dalam mencari teman hidup. Semoga bermanfaat buat saya pribadi dan kaum muslimin semuanya. Saya memohon kepada Allah semoga usaha saya ini mendatangkan pahala yang tiada putus bagi saya. <br />
<br />
Inilah kabar gembira berupa janji Allah bagi orang yang akan menikah. Bergembiralah wahai saudaraku… <br />
<br />
1. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26) <br />
Bila ingin mendapatkan jodoh yang baik, maka perbaikilah diri. Hiduplah sesuai ajaran Islam dan Sunnah Nabi-Nya. Jadilah laki-laki yang sholeh, jadilah wanita yang sholehah. Semoga Allah memberikan hanya yang baik buat kita. Amin. <br />
<br />
2. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An Nuur: 32) <br />
<br />
Sebagian para pemuda ada yang merasa bingung dan bimbang ketika akan menikah. Salah satu sebabnya adalah karena belum punya pekerjaan. Dan anehnya ketika para pemuda telah mempunyai pekerjaan pun tetap ada perasaan bimbang juga. Sebagian mereka tetap ragu dengan besaran rupiah yang mereka dapatkan dari gajinya. Dalam pikiran mereka terbesit, “apa cukup untuk berkeluarga dengan gaji sekian?”. <br />
<br />
Ayat tersebut merupakan jawaban buat mereka yang ragu untuk melangkah ke jenjang pernikahan karena alasan ekonomi. Yang perlu ditekankan kepada para pemuda dalam masalah ini adalah kesanggupan untuk memberi nafkah, dan terus bekerja mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan besaran rupiah yang sekarang mereka dapatkan. Nantinya Allah akan menolong mereka yang menikah. Allah Maha Adil, bila tanggung jawab para pemuda bertambah – dengan kewajiban menafkahi istri-istri dan anak-anaknya, maka Allah akan memberikan rejeki yang lebih. Tidakkah kita lihat kenyataan di masyarakat, banyak mereka yang semula miskin tidak punya apa-apa ketika menikah, kemudian Allah memberinya rejeki yang berlimpah dan mencukupkan kebutuhannya? <br />
<br />
3. “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (HR. Ahmad 2: 251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits no. 2518, dan Hakim 2: 160) [1] <br />
<br />
Bagi siapa saja yang menikah dengan niat menjaga kesucian dirinya, maka berhak mendapatkan pertolongan dari Allah berdasarkan penegasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini. Dan pertolongan Allah itu pasti datang. <br />
<br />
4. “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum : 21) <br />
<br />
5. “Dan Tuhanmu berfirman : ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’ ”. (Al Mu’min : 60) <br />
<br />
Ini juga janji Allah ‘Azza wa Jalla, bila kita berdoa kepada Allah niscaya akan diperkenankan-Nya. Termasuk di dalamnya ketika kita berdoa memohon diberikan pendamping hidup yang agamanya baik, cantik, penurut, dan seterusnya. <br />
<br />
Dalam berdoa perhatikan adab dan sebab terkabulnya doa. Diantaranya adalah ikhlash, bersungguh-sungguh, merendahkan diri, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dll. [2] <br />
<br />
Perhatikan juga waktu-waktu yang mustajab dalam berdoa. Diantaranya adalah berdoa pada waktu sepertiga malam yang terakhir dimana Allah ‘Azza wa Jalla turun ke langit dunia [3], pada waktu antara adzan dan iqamah, pada waktu turun hujan, dll. [4] <br />
<br />
Perhatikan juga penghalang terkabulnya doa. Diantaranya adalah makan dan minum dari yang haram, juga makan, minum dan berpakaian dari usaha yang haram, melakukan apa yang diharamkan Allah, dan lain-lain. [5] <br />
<br />
Manfaat lain dari berdoa berarti kita meyakini keberadaan Allah, mengakui bahwa Allah itu tempat meminta, mengakui bahwa Allah Maha Kaya, mengakui bahwa Allah Maha Mendengar, dst. <br />
<br />
Sebagian orang ketika jodohnya tidak kunjung datang maka mereka pergi ke dukun-dukun berharap agar jodohnya lancar. Sebagian orang ada juga yang menggunakan guna-guna. Cara-cara seperti ini jelas dilarang oleh Islam. Perhatikan hadits-hadits berikut yang merupakan peringatan keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: <br />
<br />
“Barang siapa yang mendatangi peramal / dukun, lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam”. (Hadits shahih riwayat Muslim (7/37) dan Ahmad). [6] <br />
<br />
Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka janganlah kamu mendatangi dukun-dukun itu.” (Shahih riwayat Muslim juz 7 hal. 35). [7] <br />
<br />
Telah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya jampi-jampi (mantera) dan jimat-jimat dan guna-guna (pelet) itu adalah (hukumnya) syirik.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad dan Hakim). [8] <br />
<br />
6. ”Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat”. (Al Baqarah : 153) <br />
Mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan shalat. Tentunya agar datang pertolongan Allah, maka kita juga harus bersabar sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga harus shalat sesuai Sunnahnya dan terbebas dari bid’ah-bid’ah. <br />
<br />
7. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah : 5 – 6) <br />
Ini juga janji Allah. Mungkin terasa bagi kita jodoh yang dinanti tidak kunjung datang. Segalanya terasa sulit. Tetapi kita harus tetap berbaik sangka kepada Allah dan yakinlah bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Allah sendiri yang menegaskan dua kali dalam Surat Alam Nasyrah. <br />
<br />
8. “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7) <br />
Agar Allah Tabaraka wa Ta’ala menolong kita, maka kita tolong agama Allah. Baik dengan berinfak di jalan-Nya, membantu penyebaran dakwah Islam dengan penyebaran buletin atau buku-buku Islam, membantu penyelenggaraan pengajian, dll. Dengan itu semoga Allah menolong kita. <br />
<br />
9. “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al Hajj : 40) <br />
<br />
10. “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Al Baqarah : 214) <br />
<br />
<br />
Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan menyalahi janjinya. Kalaupun Allah tidak / belum mengabulkan doa kita, tentu ada hikmah dan kasih sayang Allah yang lebih besar buat kita. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Inilah keyakinan yang harus ada pada setiap muslim. <br />
<br />
Jadi, kenapa ragu dengan janji Allah? <br />
<br />
<br />
<br />
Footnote: <br />
[1] Lihat Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995, hal. 12 <br />
[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004, hal. 1 – 2 <br />
[3] Allah turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir. Allah lalu berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan! Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri! Siapa yang meminta ampun kepada-Ku tentu Aku ampuni.” Demikianlah keadaannya hingga fajar terbit. (HR. Bukhari 145, Muslim 758) (lihat Tahajjud Nabi, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani, Media Hidayah, Sept. 2003, hal. 27). <br />
[4] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004, hal. 8 – 14 <br />
[5] Idem, hal. 15 – 22 <br />
[6] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al – Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 M, hal. 103 <br />
[7] Idem, hal. 105 <br />
[8] Idem, hal. 101 <br />
<br />
-------------------------------------------------------------------------------- <br />
Referensi: Referensi : Footnote: [1] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Konsep Perkawinan dalam Islam, Pustaka Istiqomah, Cet. II, 1995 [2] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004 [3] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Sebab Terkabulnya Do’a, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cet. I, Des 2004 [4] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al – Masaa-il Jilid 3, Penerbit Darul Qalam, Jakarta, Cet. II, 2004 MDedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-29635648247990508222010-12-05T04:17:00.000-08:002010-12-05T04:17:53.891-08:00Sunnahnya Berpindah Tempat Saat Hendak Melakukan Shalat Sunnah Rawatib<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR6qQPzknzTiITAGPIaTNULVRO0Gr4E8gMbTB39hhXA9bOdpL1ctViUpRIAPhxX36ddpJOpG9ydVPndsv8ThLbNTFI_7bDaL5b5iZammn28bDeW10fwFqXrFCUOPw3QrgSfQUCMtb01g8/s1600/shalat.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="211" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjR6qQPzknzTiITAGPIaTNULVRO0Gr4E8gMbTB39hhXA9bOdpL1ctViUpRIAPhxX36ddpJOpG9ydVPndsv8ThLbNTFI_7bDaL5b5iZammn28bDeW10fwFqXrFCUOPw3QrgSfQUCMtb01g8/s320/shalat.jpeg" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Bagi orang yang sudah selesai melaksanakan shalat fardhu lalu akan melanjutkan dengan shalat sunnah ba’diyah dianjurkan untuk memisahkannya dengan berbicara atau berpindah ke tempat lain. Dan pemisah yang paling utama adalah dengan berpindah tempat ke rumah. Karena shalat yang seorang laki-laki paling utama dilaksanakan di rumahnya kecuali shalat wajib. Hal tersebut sebagaimana hadits Nabi <em>shallallaahu 'alaihi wasallam</em>,</span></div><div style="text-align: right;"><span style="font-size: small;">فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">“<em>Sesungguhnya shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.</em>” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihain, dari Zaid bin Tsabit)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Sementara dalil yang menunjukkan sunnah memisahkan shalat fardhu dan shalat sunnah dengan perkataan atau pindah tempat adalah hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahihnya (1463), dari Mu’awiyah <em>radhiyallaahu 'anhu</em> yang menegur Saaib bin Ukhti Namr shalat Jum’at bersama dia di Maqshurah. Ketika imam selesai salam, Saaib langsung berdiri di tempatnya untuk mengerjakan shalat (sunnah). Ketika Mu’awiyah masuk, ia mengutus seseorang kepadanya dan menyampaikan pesan:</span></div><div style="text-align: right;"><span style="font-size: small;">لَا تَعُدْ لِمَا فَعَلْتَ إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">“J<em>angan ulangi lagi apa yang baru saja engkau lakukan. Jika kamu shalat Jum’at, janganlah kamu menyambungnya dengan shalat lain sehingga kamu berbicara atau keluar. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita seperti itu, yakni agar kita tidak menyambung satu shalat dengan shalat lain sehingga kita berbicara atau keluar terlebih dahulu.</em>” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 1463)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Imam al-Nawawi berkata, “Di dalamnya terdapat dalil yang sesuai dengan yang dikatakan para sahabat kami bahwa shalat sunnah rawatib dan lainnya disunnahkan untuk dialihkan (pelaksanaannya) dari tempat shalat fardhu ke tempat lain. Dan berpindah tempat yang paling utama adalah ke rumahnya. Jika tidak, maka tempat lain dalam masjid atau lainnya agar tempat-tempat sujudnya semakin banyak dan agar terbedakan antara shalat yang sunnah dari yang wajib. Dan sabda beliau, ‘sehingga kita berbicara’ merupakan dalil pemisah di antara keduanya bisa juga terpenuhi hanya dengan berbicara, tetapi berpindah tempat itulah yang lebih utama sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Syarh Muslim, Imam al-Nawawi, 6/170-171)</span></div><blockquote> <div style="text-align: right;"><span style="color: red;"><span style="font-size: x-small;">Sunnah memisahkan shalat fardhu dan shalat sunnah dengan berbicara atau berpindah ke tempat lain. Dan pemisah yang paling utama adalah dengan berpindah tempat ke rumah. </span></span></div></blockquote><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Abu Dawud (854) dan Ibnu Majah (1417) dan ini adalah lafadz miliknya, dari Abu Hurairah <em>radhiyallaahu 'anhu</em>, dari Nabi <em>shallallaahu 'alaihi wasallam</em> bersabda,</span></div><div style="text-align: right;"><span style="font-size: xx-small;"><strong> </strong><span style="font-size: small;">أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ إِذَا صَلَّى أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ ، يَعْنِي : السُّبْحَةَ</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">“<em>Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila kamu shalat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri?, yakni dalam shalat.</em>" Maksudnya shalat nafilah setelah shalat fardlu. (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Syaikhul Islam dalam <em>Al-Fatawa al-Kubra</em> (2/359) berkata, “Dan yang sunnah supaya memisahkan yang wajib dan yang sunnah dalam shalat Jum’at dan yang lainnya sebagaimana telah ditetapkan dalam al-Shahih (yakni Shahih al-Bukhari) bahwa beliau <em>shallallaahu 'alaihi wasallam</em> melarang menyambung shalat dengan shalat sehingga keduanya dipisahkan dengan berdiri atau berbicara. Janganlah melakukan seperti yang dikerjakan orang banyak, yakni menyambung salam dengan shalat sunnah dua rakaat. Sesungguhnya ini melanggar larangan Nabi <em>shallallaahu 'alaihi wasallam</em>. Di antara hikmah dalam masalah ini adalah membedakan antara amal fardlu dengan selainnya, sebagaimana dibedakan antara ibadah dengan yang bukan ibadah. Karenanya disunnahkan menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, makan pada hari raya Iedul fitri sebelum melaksanakan shalat, dan larangan menyambut Ramadlan dengan puasa sehari atau dua hari. Semua ini untuk memisahkan antara yang diperintahkan dan yang tidak diperintahkan dari masalah puasa, memisahkan antara yang bukan ibadah dengan yang ibadah, dan seperti inilah cara untuk membedakan antara shalat Jum’at yang Allah wajibkan dengan yang lainnya,” selesai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Alasan memisahkan antara yang wajib dan sunnah adalah untuk membedakan salah satu jenis ibadah dari yang lain. Sebagian ulama menyebutkan alasan lainnya, yaitu memperbanyak tempat sujud untuk menjadi saksi pada hari kiamat, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Nawawi <em>rahimahullaah.</em></span></div><blockquote> <div style="text-align: right;"><span style="font-size: x-small;"><span style="color: red;">Alasan memisahkan antara shalat fadhu dan shalat sunnah adalah untuk membedakan salah satu jenis ibadah dari yang lain dan untuk memperbanyak tempat sujud untuk menjadi saksi pada hari kiamat</span></span></div></blockquote><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Pengarang ‘Aun al-Ma’bud menyebutkan bahwa<em> ‘illah</em> (alasan) untuk memperbanyak tempat sujud yang akan menjadi saksi untuknya pada hari kiamat disebutkan oleh Imam al-Bukhari dan al-Baghawi. ‘Illah ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,</span></div><div style="text-align: right;"><span style="font-size: small;">يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">“<em>Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.</em>” (QS. Al-zalzalah: 4) Maknanya dia akan mengabarkan amal-amal yang dilakukan di atasnya. Dan juga disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,</span></div><div style="text-align: right;"><span style="font-size: small;">فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">“<em>Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka . . . .</em>” (QS. Al-Dukhan: 29) Bahwa seorang mukmin apabila meninggal maka tempat shalatnya di bumi akan menangis, begitu juga tempat naiknya ke langit.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">‘Illah ini menuntut supaya berpindah tempat dari tempat shalat fardhunya ketika melaksanakan shalat sunnah. Dan jika tidak berpindah tempat hendaknya memisahkannya dengan berbicara karena adanya larangan untuk menyambung satu shalat dengan shalat lainnya sehingga orang yang shalat itu berbicara atau keluar….” Selesai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Imam al-Ramli dalam <em>Nihayah al-Muhtaj </em>(1/552) berkata, “Dan disunnahkan berpindah tempat untuk melaksanakan shalat sunnah atau fardhu dari tempat shalat fardhu atau sunnahnya ke tempat lainnya untuk memperbanyak tempat-tempat sujud, karena tempat-tempat itu akan menjadi saksi baginya dan juga karena dalam hal itu sebagai kegiatan menghidupan tempat untuk ibadah. Maka apabila tidak berpindah kepada tempat lain maka memisahkannya dengan berbicara kepada orang,” selesai.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;"><strong>Kesimpulan</strong></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Bahwa disunnahkan untuk berpindah tempat dari tempat shalat fardhu ketika melaksanakan shalat sunnah ba’diyah. Berpindah tempat ini untuk membedakan antara shalat fardhu dan shalat sunnah, dan juga untuk memperbanyak tempat ibadah karena tempat sujud seseorang akan menjadi saksi kebaikan baginya kelak di hari kiamat.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Tempat yang paling baik untuk berpindah tempat adalah rumah. Disamping didasarkan kepada hadits Bukhari dan Muslim di atas juga sebagai upaya untuk menghidupkan rumah dengan ibadah agar tidak seperti kuburan, karena Nabi <em>shallallaahu 'alaihi wasallam</em> melarang menjadikan rumah (laksana) kuburan, yaitu dengan tidak digukanan sebagai tempat shalat, tilawah al-Qur’an dan dzikrullah.</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: xx-small;">Jika berat berpindah tempat ke rumah, boleh melaksanakannya di masjid dengan tetap berpindah tempat atau bergeser dari tempatnya semula. Tujuannya, agar semakin banyak tempat yang digunakannya untuk bersujud sehingga akan semakin banyak tempat yang menjadi saksi atas kebaikan-kebaikannya. Dan jika tidak seperti itu, boleh memisahkan shalat sunnah dengan shalat fardhu melalui perbincangan dengan kawannya.</span></div><span style="font-size: xx-small;">Semoga tulisan ini memberikan manfaat untuk para pembaca sehingga mendapatkan kejelasan hujjah berpindah tempat saat melaksanakan shalat sunnah rawatib. Wallahu a’lam bis shawab. </span>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-42345726076461288662010-12-04T21:45:00.000-08:002010-12-04T21:45:55.242-08:00Keep Smile<div class="image" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="img" height="200" src="http://images.detik.com/content/2010/12/04/766/bayi-senyum-dalam-ts.jpg" width="200" /><strong></strong></div><br />
<strong></strong> Tersenyum itu lebih gampang ketimbang cemberut karena otot yang dibutuhkan untuk gerakan senyum lebih sedikit ketimbang cemberut. Tapi meski mudah dilakukan orang sulit sekali untuk tersenyum dan lebih sering menunjukkan ekspresi mengerutkan dahi atau cemberut.<br />
<br />
Seperti dikutip dari <em>Howstuffworks</em>, Sabtu (4/12/2010) dibutuhkan jumlah otot yang lebih sedikit untuk tersenyum dibandingkan dengan cemberut.<br />
<br />
Beberapa ahli menyatakan dibutuhkan 43 otot untuk cemberut dan hanya 17 otot untuk tersenyum. Namun beberapa lainnya menyebutkan dibutuhkan 62 otot untuk cemberut dan hanya 26 otot untuk tersenyum.<br />
<br />
Tersenyum bisa dilakukannya secara sadar ataupun tidak sadar yang dipandang sebagai suatu bentuk kebahagian dan keramahan. Sedangkan cemberut umumnya menunjukkan kesedihan atau ketidaksetujuan.<br />
<br />
Secara umum terdapat 43 otot yang ada di wajah seseorang, sebagian besar otot ini dikendalikan oleh 7 saraf kranial (biasanya dikenal sebagai saraf wajah).<br />
Saraf-saraf ini keluar dari cerebral korteks dan muncul tepat di depan telinga.<br />
<br />
Saraf ini kemudian terbagi menjadi lima cabang utama yaitu temporal, zygomatic, buccal, mandibular dan serviks. Cabang-cabang ini menjangkau daerah berbeda-beda<br />
dari otot wajah yang memungkinkan seseorang membuat berbagai ekspresi.<br />
<br />
Selain hanya menggunakan sedikit otot, tersenyum juga dapat memberikan manfaat lebih untuk orang tersebut dan orang-orang disekitarnya seperti memberikan energi positif serta mengubah suasana hati menjadi lebih baik. Karena itu tak ada salahnya untuk selalu tersenyum.Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-26582066080664984212010-11-28T03:08:00.000-08:002010-11-28T03:08:34.174-08:00Hukum Pernikahan Dalam Islam<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOP7SCC_hBTfP-M7e-yXY1ITadwxyMBMu8EfJopblZtYAfwUv4B7IPOW4Ebc79WNqHdHFfh4sA2aHz59o-_QOnyDITcgKX36oxluYuqQYkGy2lf6Phusd-ESNy46bhHaFrSeKEyUlL5fs/s1600/penganten.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOP7SCC_hBTfP-M7e-yXY1ITadwxyMBMu8EfJopblZtYAfwUv4B7IPOW4Ebc79WNqHdHFfh4sA2aHz59o-_QOnyDITcgKX36oxluYuqQYkGy2lf6Phusd-ESNy46bhHaFrSeKEyUlL5fs/s1600/penganten.jpeg" /></a></div><br />
Dalam pembahasan ini kita akan berbicara tentang hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.<br />
<br />
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.<br />
<br />
1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya<br />
<br />
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.<br />
<br />
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :<br />
<br />
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)<br />
<br />
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya<br />
<br />
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.<br />
<br />
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.<br />
<br />
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.<br />
<br />
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)<br />
<br />
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.<br />
<br />
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya<br />
<br />
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.<br />
<br />
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.<br />
<br />
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.<br />
<br />
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.<br />
<br />
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.<br />
<br />
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya<br />
<br />
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.<br />
<br />
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.<br />
<br />
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.<br />
<br />
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya<br />
<br />
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.<br />
<br />
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-63810960333496656562010-11-28T01:14:00.000-08:002010-11-28T01:14:00.808-08:00Nikah Muda Dalam Kaca Mata Fikih Islam<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>AR-SA</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><!--[endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style> <![endif]--> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1h_o4vKAvzh9p002VMV823E1GnP6DkerZeDM3OjwBB2w8fCQR5qNdCHhWJJTG_YZI1zNltf5N55zyYf8Kr4u8I2hSn396CAb3IjwMOMyWiv-R294diEe-oD1xI8VFpo-cCRXR_jofBuM/s1600/canvas.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1h_o4vKAvzh9p002VMV823E1GnP6DkerZeDM3OjwBB2w8fCQR5qNdCHhWJJTG_YZI1zNltf5N55zyYf8Kr4u8I2hSn396CAb3IjwMOMyWiv-R294diEe-oD1xI8VFpo-cCRXR_jofBuM/s1600/canvas.png" /></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Assalamu'alaikum...<br />
Di antara keistimewaan Islam adalah fleksibelitas, universalitas, rasional, sesuai tempat dan zaman serta mudah diterima khalayak, baik yang berkaitan masalah ibadah, akhlak, muamalat, maupun berkaitan hukum (aturan) perkawinan. Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhamad. Tepatkah asumsi tersebut?<br />
<br />
Tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu kawin muda (nikah di bawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fikih Islam. Harapan semoga ajaran Islam yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya.<br />
<br />
Usia Perkawinan<br />
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.<br />
<br />
Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.<br />
<br />
Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.<br />
<br />
Dorongan adanya kesetaraan<br />
Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama).<br />
<br />
Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.<br />
<br />
Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.<br />
<br />
Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah<br />
Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim); Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam; Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah.<br />
<br />
Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Kelima: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.<br />
<br />
Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.<br />
<br />
Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.<br />
<br />
Usia perkawinan menurut Undang-Undang<br />
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.<br />
<br />
Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16).<br />
<br />
Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat UU hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak, khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat. Pepatah (kata mutiara) Arab mengatakan “Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghindarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan dalam masyarakat.” Penulis sama sekali tidak mengklaim batal atau tidak sahnya perkawinan usia muda, melainkian hanya menekankankan bahwa Islam tidak mendorong hal tersebut dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas.</span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-91559077736230942102010-11-27T23:37:00.000-08:002010-11-27T23:37:41.024-08:00Tips Menghilangkan Phobia<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9NghUzTTUv5xKU9bOBvGUlDzaBV3M0_ZtlM4cJnPrdIXdoe_6fLWbJxVoxMFNUT3pqewsd2qchDrJTka_qtlCC6vZ5k6XK__Op4csFxXG_inUFChisHOmQe7wX6w0IAoU_tLUh7h77gY/s1600-h/phobia.gif"><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5346847995993272146" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9NghUzTTUv5xKU9bOBvGUlDzaBV3M0_ZtlM4cJnPrdIXdoe_6fLWbJxVoxMFNUT3pqewsd2qchDrJTka_qtlCC6vZ5k6XK__Op4csFxXG_inUFChisHOmQe7wX6w0IAoU_tLUh7h77gY/s320/phobia.gif" style="cursor: pointer; display: block; height: 320px; margin: 0px auto 10px; text-align: center; width: 308px;" /></a><br />
<div style="text-align: justify;">Pengertian Phobia<br />
<br />
Phobia adalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar pada kenyataan. Istilah “phobia” berasal dari kata “phobi” yang artinya ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi tertentu.<br />
<br />
Walaupun ada ratusan macam phobia tetapi pada dasarnya phobia-phobia tersebut merupakan bagian dari 3 jenis phobia, yang menurut buku DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental <span class="IL_AD" id="IL_AD3">Disorder</span> IV) ketiga jenis phobia itu adalah:<br />
<br />
1. Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.<br />
<br />
2. Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut jadi pusat perhatian, <span class="IL_AD" id="IL_AD7">orang</span> seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.<br />
<br />
3. Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.<br />
<br />
Penyebab Phobia<br />
<br />
Phobia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada umumnya phobia disebabkan karena pernah mengalami ketakutan yang hebat atau pengalaman pribadi yang disertai perasaan malu atau bersalah yang semuanya kemudian ditekan kedalam alam bawah sadar. Peristiwa traumatis di masa kecil dianggap sebagai salah satu kemungkinan penyebab terjadinya phobia.<br />
<br />
Lalu bagaimana menjelaskan tentang orang yang takut akan sesuatu walaupun tidak pernah mengalami trauma pada masa kecilnya? Martin Seligman di dalam teorinya yang dikenal dengan istilah biological preparedness mengatakan ketakutan yang menjangkiti tergantung dari relevansinya sang stimulus terhadap nenek moyang atau sejarah evolusi manusia, atau dengan kata lain ketakutan tersebut disebabkan oleh faktor keturunan. Misalnya, mereka yang takut kepada beruang, nenek moyangnya pada waktu masih hidup di dalam gua, pernah diterkam dan hampir dimakan beruang, tapi selamat, sehingga dapat menghasilkan kita sebagai keturunannya. Seligman berkata bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah evolusi kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival kita.<br />
<br />
Pada kasus phobia yang lebih parah, gejala anxiety neurosa menyertai penderita tersebut. Si penderita akan terus menerus dalam keadaan phobia walaupun tidak ada rangsangan yang spesifik. Selalu ada saja yang membuat phobia-nya timbul kembali, misalnya thanatophobia (takut mati), dll.<br />
<br />
Perlu kita ketahui bahwa phobia sering disebabkan oleh faktor keturunan, lingkungan dan budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi diberbagai bidang sering tidak seiring dengan laju perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti dinamika dan mobilisasi sosial yang sangat cepat naiknya, antara lain pengaruh pembangunan dalam segala bidang dan pengaruh modernisasi, globalisasi, serta kemajuan dalam era informasi. Dalam kenyataannya perubahan-perubahan yang terjadi ini masih terlalu sedikit menjamah anak-anak sampai remaja. Seharusnya kualitas perubahan anak-anak melalui proses bertumbuh dan berkembangnya harus diperhatikan sejak dini khususnya ketika masih dalam periode pembentukan (formative period) tipe kepribadian dasar (basic <span class="IL_AD" id="IL_AD8">personality</span> type). Ini untuk memperoleh generasi penerus yang berkualitas.<br />
<br />
Berbagai ciri kepribadian/karakterologis perlu mendapat perhatian khusus bagaimana lingkungan hidup memungkinkan terjadinya proses pertumbuhan yang baik dan bagaimana lingkungan hidup dengan sumber rangsangannya memberikan yang terbaik bagi perkembangan anak, khususnya dalam keluarga.<br />
<br />
Berbagai hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang tua, meliputi tokoh ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, masih sering kabur, samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas mengenai ciri khusus pola asuh (rearing <span class="IL_AD" id="IL_AD5">practice</span>) yang ideal bagi anak. Seperti umur berapa seorang anak sebaiknya mulai diajarkan membaca, menulis, sesuai dengan kematangan secara umum dan tidak memaksakan. Tujuan mendidik, menumbuhkan dan memperkembangkan anak adalah agar ketika dewasa dapat menunjukan adanya gambaran dan kualitas kepribadian yang matang (mature, wel-integrated) dan produktif baik bagi dirinya, keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah teramat penting.<br />
<br />
Teknik Penyembuhan<br />
<br />
Ada beberapa teknik Untuk penyembuhan phobia diantaranya adalah sbb:<br />
<br />
1. Hypnotheraphy: Penderita phobia diberi sugesti-sugesti untuk menghilangkan phobia.<br />
<br />
2. Flooding: Exposure <span class="IL_AD" id="IL_AD9">Treatment</span> yang ekstrim. Si penderita phobia yang ngeri kepada anjing (cynophobia), dimasukkan ke dalam ruangan dengan beberapa ekor anjing jinak, sampai ia tidak ketakutan lagi.<br />
<br />
3. Desentisisasi Sistematis: Dilakukan exposure bersifat ringan. Si penderita phobia yang takut akan anjing disuruh rileks dan membayangkan berada ditempat cagar alam yang indah dimana si penderita didatangi oleh anjing-anjing lucu dan jinak.<br />
<br />
4. Abreaksi: Si penderita phobia yang takut pada anjing dibiasakan terlebih dahulu untuk melihat gambar atau film tentang anjing, bila sudah dapat tenang baru kemudian dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya dari jauh dan semakin dekat perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat dilanjutkan dengan memegang anjing dan bila phobia-nya hilang mereka akan dapat bermain-main dengan anjing. Memang sih bila phobia yang dikarenakan pengalaman traumatis lebih sulit dihilangkan.<br />
<br />
5. Reframing: Penderita phobia disuruh membayangkan kembali menuju masa lampau dimana permulaannya si penderita mengalami phobia, ditempat itu dibentuk suatu manusia baru yang tidak takut lagi pada phobia-nya.</div>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-21827535660010144442010-11-27T22:38:00.000-08:002010-11-27T22:38:35.531-08:00Hadits Hadits Cinta<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIf376l00_j9AtKfXzEPcbGOb9cOo_M83JTA-mkaBarl_J9m54KeFKvZD_vHXKdkLAWQhB3JJIgix46xyVnUt4HVuu6Zi2c6cCdCKsAcxqC_Ei0DaiNcv4tw1t1c4uoIDFhcS0rHmN2UA/s1600/hati.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIf376l00_j9AtKfXzEPcbGOb9cOo_M83JTA-mkaBarl_J9m54KeFKvZD_vHXKdkLAWQhB3JJIgix46xyVnUt4HVuu6Zi2c6cCdCKsAcxqC_Ei0DaiNcv4tw1t1c4uoIDFhcS0rHmN2UA/s1600/hati.jpeg" /></a></div><br />
Assalamu'alaikum..Wr Wb... <br />
Setiap orang pasti pernah merasakan dan mengalami cinta, suatu perasaan yang membuat hidup ini penuh arti, penuh rasa, dan membuat hidup ini menjadi dinamis. Kita telah mengenal cinta sejak kita dilahirkan, saat itu kita mencintai (maaf) puting susu ibu karena dari situlah sumber kebutuhan biologi kita tercukupi. Setelah itu kita tumbuh menjadi seorang bocah yang bisa merasakan kasih sayang kedua orang tua dan kitapun mencintai mereka. Setelah itu kita tumbuh menjadi remaja yang telah baligh dan mulai mempunyai rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, kemudian kita menjadi dewasa yang telah menemukan jatidiri sehingga apa yang kita cintaipun menjadi beragam; ada yang cinta harta, kekuasaan, ilmu, popularitas, dll.<br />
Setiap orang bisa saja memiliki makna yang berbeda-beda tentang cinta, hal tersebut adalah wajar karena pengalaman dan pengetahuan tentang cinta mereka juga berbeda. Namun, marilah sejenak kita melihat arti cinta dari dua tradisi dunia yang berbeda, yaitu dunia barat dan dunia timur. Dari dunia barat kita mengenal cinta dengan sebutan ”<em>love</em>”. Cinta disini diartikan sempit sebagai suatu hubungan dua individu yang umumnya berakhir dengan suatu aktivitas seksual, jadi cinta itu adalah hubungan seksual. Menurut Dr. Shahba’ Muhammad Bunduq dalam bukunya ”<em>Kaifa Nafham al-Hubb</em>”, orang barat mengangap tidak ada perbedaan antara perasaan hati dan kenikmatan fisik. Bahkan mereka biasa menyebut berhubungan intim antara laki-laki dan perempuan dengan sebutan ”<em>making love</em>”; bercinta. Berbeda dengan budaya timur, yang diwakili oleh bangsa Arab, cinta disebut ”<em>al-hubb</em>” (yang menjadi nama dari blog ini <img alt=":)" class="wp-smiley" src="http://s2.wp.com/wp-includes/images/smilies/icon_smile.gif?m=1232460950g" /> ), yang berarti mencakup perasaan secara umum, dan tidak hanya terbatas pada pengertian dangkal yaitu hanya sebatas hubungan fisik antara pria dan wanita. Meskipun hubungan antara pria dan wanita terkandung dalam kosa kata tersebut, tetapi ia dibarengi dengan makna-makna yang menunjukkan kehangatan. Sebagai orang Indonesia, seharusnya kita menganut pengertian cinta dari budaya timur ini.<br />
Perasaan cinta bisa menjadi suatu jalan kebahagiaan yang tiada tara bagi seorang manusia, pun bisa menjadi suatu siksaan yang amat menyakitkan; semua tergantung dari cara kita memandang dan meraih cinta. Ajaran Islam telah mengatur umatnya dalam mengamalkan cinta. Jika Kang Abik telah memberikan sebagian contoh ayat-ayat cinta, maka saya akan melengkapi dengan hadits-hadits cinta yang pastinya shahih, hadits tersebut antara lain:<br />
Dari Anas ra. dari Nabi SAW. bersabda: <em>”Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, niscaya ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: Hendaknya Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain. Hendaklah bila ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah. Hendaklah ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci kalau akan dicampakkan ke dalam api neraka.” </em>(HR. Bukhari)<br />
Penjelasan<br />
Nabi SAW. menjelaskan bahwa ada tiga hal yang apabila diamalkan oleh seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Manis disini menunjukkan arti nikmat, senang, suka terhadap iman. Apabila seseorang merasa nikmat terhadap sesuatu maka ia tidak akan rela apabila sesuatu itu lepas dan hilang dari dirinya, apalagi kenikmatan itu adalah kenikmatan iman, suatu anugerah terbesar yang seharusnya kita syukuri dan harus benar-benar dipertahankan sampai akhir hayat kita. Jika kita berhasil mempertahankan iman sampai ajal menjemput, maka demi Allah, surga telah menanti kita. Tiga hal yang dapat menimbulkan manisnya iman tersebut adalah;<br />
1. Mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaan terhadap yang lain<br />
Mencintai Allah dan rasul-Nya harus kita tempatkan pada urutan teratas dari daftar siapa yang kita cintai. Mencintai Allah dan rasul-Nya berarti kita bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Allah, menuntut ilmu yang berkenaan dengan sunnah Rasulullah SAW. dan mengamalkannya. Kepentingan Allah dan rasul-Nya harus kita jadikan prioritas utama dibandingkan dengan urusan lain.<br />
Orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaan lainnya akan memperoleh kenikmatan yang kekal. Sebaliknya orang yang mencintai sesuatu melebihi kecintaannya terhadap Allah dan rasul-Nya hanya akan memperoleh kenikmatan nisbi (sementara).<br />
2. Mencintai seseorang karena Allah<br />
Agama mengajarkan cinta dan benci itu bukan karena orangnya, tetapi karena perbuatannya, apakah ia mengikuti ajaran Allah atau malah menyimpang dari ajaran Allah. Jika kita mencintai karena orangnya, seperti karena ia cantik/tampan, atau karena ia kaya, dll.; maka sangat besar kemungkinan kita akan terbutakan oleh cinta itu, sehingga tidak lagi dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Jika kita mencintai seseorang karena ia mengikuti ajaran Allah, maka insyaallah hidup kita akan lebih berkualitas karena setiap saat kita akan berusaha memperbaiki diri untuk senantiasa bersama mendekatkan diri kepada Allah.<br />
3. Benci kepada kekufuran seperti benci jika dicampakkan ke dalam api neraka.<br />
Siapapun orangnya, pasti tidak akan mau apabila dimasukkan ke dalam api neraka yang di dalamnya penuh dengan siksaan yang tak pernah kita bayangkan. Dalam suatu riwayat diceritakan oleh Nabi SAW. bahwa siksaan paling ringan dalam neraka adalah seseorang yang cuma berdiri sedangkan otaknya mendidih karena panasnya neraka, na’udzubillah min dzalik. Satu syarat terakhir agar kita bisa merasakan manisnya iman adalah kita harus punya semangat untuk menjauhi kekufuran sama seperti semangat kita untuk tidak mau dimasukkan ke dalam neraka.<br />
Kufur artiya menolak kebenaran, dan orang yang menolak kebenaran dalam Islam disebut kafir. Orang kafir menolak kebenaran, atau perintah Allah, dan mengikuti keinginan hawa nafsunya sendiri.<br />
<em>Wallahu a’alam bishshawab</em>. Semoga bisa bermanfaat untuk kita semua, aminDedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-40345706140161551992010-11-25T03:30:00.000-08:002010-11-25T03:30:24.809-08:00Kanker Payudara Dan Cara PenyembuhanyaAssalamu'alaikum Wr.Wb <br />
Secara umum <strong>tumor </strong>(benjolan) adalah penyakit pertumbuhan sel yang berlebihan. ada dua jenis tumor, yaitu tumor jinak dan tumor ganas (kanker). Tumor jinak mempunyai ciri pertumbuhan yang lambat, tidak menyebar, permukaan rata, dan mudah digerakkan. Sedang tumor ganas (kanker) mempunyai ciri pertumbuhan cepat, menyebar, tidak mudah digerakkan dan permukaan tidak rata. Kanker payudara merupakan pertumbuhan tidak terkendali sel di <strong>payudara </strong>yang bisa berasal dari sel jaringan lemak, sel kelenjar susu maupun sel saluran susu.<br />
<br />
<br />
<strong>Gejala-gejala Kanker Payudara</strong><br />
Pada tahap awal, biasanya tidak merasakan sakit atau tidak ada tanda-tandanya sama sekali. Namun, ketika tumor semakin membesar, akan muncul gejala – gejala :<br />
a. Benjolan yang tidak hilang atau permanen, biasanya tidak sakit dan terasa keras bila disentuh atau penebalan pada kulit payudara atau di sekitar ketiak.<br />
b. Perubahan ukuran atau bentuk <strong>payudara</strong>.<br />
Kerutan pada kulit <strong>payudara</strong>.<br />
Keluarnya cairan dari <strong>payudara</strong>, umumnya berupa darah atau nanah.<br />
Pembengkakan atau adanya tarikan pada puting susu<br />
Faktor risiko terkena <strong>kanker payudara</strong>.<br />
Faktor yang tidak dapat diubah antara lain, bertambah usia, riwayat keluarga terkena <strong>kenker payudara</strong>, menstruasi awal (sebelum 12 tahun), menopause terlambat (sesudah 50 tahun), tidak mempunyai anak, atau mempunyai anak setelah 30 tahun, dan genetik. Selain itu ada faktor yang dapat diubah seperti terapi hormonal, Kontrasepsi Pil KB, tidak menyusui, minum alkohol,kurang olahraga, dan kelebihan berat badan (terutama setelah masa menopause).<br />
<br />
<b>Pencegahan dan deteksi dini</b><br />
<strong>Kanker payudara</strong> menduduki urutan kedua setelah kanker leher rahim. Kebanyakan orang datang berobat ke rumah sakit sudah dalam kondisi kanker stadium lanjut. Untuk itu upaya pencegahan dan deteksi dini sangat penting sekali. Untuk mencegah kanker payudara maka yang dapat dilakukan adalah menghindari factor resiko, yaitu dengan hindari melakukan terapi penggantian hormon untuk jangka panjang, segera menikah (agar bisa segera mempunyai anak dan menyusui), menghindari kelebihan berat badan dengan melakukan olahraga dan diet yang tepat, hindari alkohol.<br />
Untuk mendeteksi <strong>kanker payudara</strong> secara dini, maka sebaiknya kaum perempuan melakukan SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) mengamati, meraba dan merasakan ada atau tidak perubahan di <strong>payudara</strong>. Jika terdapat suatu kelainan sebaiknya segera konsultasikan ke dokter. Selain itu melakukan mamografi rutin ketika usia sudah lebih dari 40 tahun.<br />
Pengobatan<br />
Secara medis jika seseorang terkena <strong>kanker payudara </strong>maka biasanya dokter akan melakukan terapi berupa operasi, penyinaran (radioterapi) dan atau kemoterapi (disuntik zat kimia untuk membunuh <strong>kanker</strong>), biasanya kemoterapi ini mempunyai efek samping seperti kerontokan rambut, rasa mual, dan lain-lain.<br />
<br />
<b>Pengobatan dengan herbal (ramuan)</b><br />
Untuk mengobati penyakit <strong>kanker payudara</strong> <b>secara islami,</b> maka ada beberapa hal yang perlu dijalankan, antara lain :<br />
<b>1</b>.<b> Yakinlah bahwa Allah SWT adalah penyembuh, dan setiap penyakit bisa disembuhkan atas izin Allah.</b><br />
<b>2. Lakukan introspeksi dan kemudian mohon ampun kepada Allah SWT.</b><br />
<b>3. Jika penderita memungkinkan untuk berpuasa, maka lakukanlah puasa sunah.</b><br />
<b>4. Rutinkan sholat malam, karena dengan sholat malam dapat meningkatkan daya tahan tubuh.</b><br />
<b>5. Konsumsi herbal yang meningkatan daya tahan tubuh dan bersifat anti kanker, antara lain mahkota dewa, temu mangga, tapak dara, ki tolod, habbatussauda, mengkudu dan benalu teh.</b><br />
untuk lebih jelasnya, sebaiknya anda berkonsultasi secara langsung dengan dokter klinik sehat.<br />
Demikian semoga bermanfaat.<br />
Wassalam.<br />
di ambil dari eramuslim.comDedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-68137734343395510832010-11-21T22:39:00.000-08:002010-11-21T22:39:37.678-08:00Hukum Memanjangkan Kuku, Menipiskan Alis dan Memakai Kutek<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfWRNo6wXcfEhhOxC3lZNvBit02lrhNBEuCfsKnOCOUqOZ5zLCJlxGT2pkg7fpy4YRhQCV3fvuAZw7CY3rBioSwkYdZXM2-aV4mDt4CMzP0-Er7Rt7EkYg_bRQLiLw-ygujLEu4vSVGYM/s1600/nature1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="232" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfWRNo6wXcfEhhOxC3lZNvBit02lrhNBEuCfsKnOCOUqOZ5zLCJlxGT2pkg7fpy4YRhQCV3fvuAZw7CY3rBioSwkYdZXM2-aV4mDt4CMzP0-Er7Rt7EkYg_bRQLiLw-ygujLEu4vSVGYM/s320/nature1.jpg" width="320" /></a></div><br />
Islam melarang wanita dan pria untuk memanjangkan kuku. Sebagian kaum wanita<br />
sengaja memanjangkan kuku-kuku mereka atau membuat kuku-kuku palsu yang<br />
jelas menyalahi fitrah. Sementara, bagi seorang Muslimah diharapkan darinya<br />
untuk mengerjakan segala sesuatu yang berkenaan dengan perangai fitrah.<br />
Salah satu perangai fitrah tersebut adalah memotong kuku. Mereka yang<br />
memanjangkan kukunya mungkin mengatakan : ” Saya memelihara kuku-kuku saya<br />
dan saya mencucinya setiap hari”. Maka jawabannya adalah :<br />
<span class="fullpost"><br />
Pertama : Syari’at Islam telah melarang memanjang kuku. Syaikh Abdul Aziz<br />
bin Baaz rahimahullah menyatakan: “Memanjangkan kuku adalah menyelisihi<br />
ajaran As-Sunnah. Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi Shollallahu’alayhi wa<br />
sallam, bahwa Beliau bersabda :<br />
</span>"Perkara fitrah ada lima: Berkhitan, mencukur bulu kemaluan, menggunting kumis, menggunting kuku dan mencabut bulu ketiak."<br />
(H.R Al-Bukhari dan Muslim)<br />
<span class="fullpost"><br />
Kuku dan yang lainnya tersebut tidak boleh dibiarkan panjang lebih dari 40<br />
hari, berdasarkan riwayat dari Anas radhillahu ‘anhu, bahwa ia bercerita :<br />
<br />
“Rasulullah Shollallahu ‘alayhi wa sallam memberi batasan kepada kami dalam<br />
memendekkan kums, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu<br />
kemaluan dengan tidak membiarkannya lebih dari empat puluh malam.”.<br />
<br />
Karena memanjangkan semua bagian tersebut menyerupai binatang dan sebagian<br />
orang-orang kafir. (Fatawal Mar’ah 167).<br />
<br />
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Termasuk aneh, apabila<br />
orang-orang yang mengaku modern dan berperadaban membiarkan kuku-kuku mereka<br />
panjang, padahal jelas mengandung kotoran dan najis, serta menyebabkan<br />
manusia menyerupai binatang”.<br />
<br />
Kedua : Dari segi kesehatan, sesungguhnya mencuci kuku itu tidak membuat<br />
kuku itu bersih dari kuman dan kotoran, karena air tidak dapat mencapai<br />
bagian bawah kuku. Itu hal yang jelas dan dapat dimaklumi.<br />
<br />
Diringkas dari buku : Indahnya Berhias oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al<br />
Musnid, terbitan Darul Haq tahun 2000, Bab : Cutek dan Kuku Buatan pp46-49.</span>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6317858295305638693.post-43747144557069035792010-11-14T19:18:00.000-08:002010-11-14T19:23:57.456-08:00KETAT = TELANJANG<i>Bismillahirrahmaanirrahiim..... </i><br />
<i>Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. </i><i>Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini.</i> Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. <i>Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini. </i><br />
<br />
<i><a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=6317858295305638693&postID=4374714455706903579" name="more"></a></i><br />
<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b><b>Tanda Benarnya Sabda Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i></b></b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Ada d</i><i>ua</i><i> golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] <b>para wanita yang berpakaian tapi telanjang</b>, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan </i><i>sekian</i><i> dan </i><i>sekian</i>.” (HR. Muslim no. 2128)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam </i>karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat <i>Syarh Muslim</i>, 9/240 dan <i>Faidul Qodir</i>, 4/275). <i>Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah. </i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b><b>Saudariku, pahamilah makna ‘<i>kasiyatun ‘ariyatun</i>’</b></b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">An Nawawi dalam <i>Syarh Muslim</i> ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna <i>kasiyatun ‘ariyatun</i>. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Makna pertama</b>: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Makna kedua</b>: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Makna ketiga</b>: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Makna keempat</b>: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat <i>Syarh Muslim</i>, 9/240)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna <i>kasiyatun ‘ariyatun</i> adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (<i>Jilbab Al Mar’ah Muslimah</i>, 125-126)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Al Munawi dalam <i>Faidul Qodir</i> mengatakan mengenai makna <i>kasiyatun ‘ariyatun</i>, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (<i>Faidul Qodir, </i>4/275)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna <i>kasiyatun ‘ariyatun</i> ada tiga makna. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Pertama</b>: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Kedua</b>: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Ketiga</b>: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (<i>Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain</i>, 1/1031) <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Kesimpulannya</b> adalah <i>kasiyatun ‘ariyat</i> dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b><b>Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini</b></b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “<i>wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan </i><i>sekian</i><i> dan </i><i>sekian</i>.” Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘<i>wanita tersebut tidak akan masuk surga</i>’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah: Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya. Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. <i>Wallahu Ta’ala a’lam. </i>(Lihat <i>Syarh Muslim</i>, 9/240)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?! <i> </i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><i>Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ...</i><i>Dan Pakaian Yang Mesti Engkau Pakai, Saudariku...</i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Betapa banyak kita lihat saat ini, wanita-wanita berbusana muslimah, namun masih dalam keadaan ketat. Sungguh kadang hati terasa perih. Apa bedanya penampilan mereka yang berkerudung dengan penampilan wanita lain yang tidak berkerudung jika sama-sama ketatnya[?]</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Oleh karena itu, pembahasan kita saat ini adalah mengenai pakaian wanita muslimah yang seharusnya mereka pakai. Pembahasan kali ini adalah lanjutan dari pembahasan "Wanita yang Berpakaian Tetapi Telanjang". Semoga bermanfaat. Hanya Allah lah yang dapat memberi taufik dan hidayah. </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Allah <i>Ta’ala </i>berfirman,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. </i>(QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Allah <i>Ta’ala</i> juga berfirman,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.</i>” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah <i>mustahab</i> (dianjurkan). (Lihat <i>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, </i>Amru Abdul Mun’im, hal. 14)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b> Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya memiliki syarat-syarat. Jadi belum tentu setiap pakaian yang dikatakan sebagai pakaian muslimah atau dijual di toko muslimah dapat kita sebut sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus kita kembalikan pada syarat-syarat pakaian muslimah. Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan ini semua tidak menunjukkan bahwa pakaian yang memenuhi syarat seperti ini adalah pakaian golongan atau aliran tertentu. Tidak sama sekali. Semua syarat pakaian wanita ini adalah syarat yang berasal dari Al Qur’an dan hadits yang shohih, bukan pemahaman golongan atau aliran tertentu. Kami mohon jangan disalah pahami. Ulama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad ini-. Lalu ada ulama yang melengkapi syarat yang beliau sampaikan yaitu Syaikh Amru Abdul Mun’im hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat yang para ulama sebutkan bukan mereka karang-karang sendiri. Namun semua yang mereka sampaikan berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shohih. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat pertama</b>: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi termasuk juga telapak kaki. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat kedua</b>: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik! Yang terkahir ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimin. Allah <i>Ta’ala</i> berfirman,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-<b>tabarruj</b> seperti orang-orang jahiliyyah pertama</i>.” (QS. Al Ahzab : 33). <b><i>Tabarruj</i></b> adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum lelaki.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Ingatlah, bahwa maksud perintah untuk mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian, tidak masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita malah menjadi pakaian untuk berhias sebagaimana yang sering kita temukan. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat ketiga</b>: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar dan tidak ketat sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Dalam sebuah hadits shohih, Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda, “<i>Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan <b>para wanita berpakaian tapi telanjang</b>, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” </i>(HR.Muslim)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna <i>kasiyatun ‘ariyatun</i> adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (<i>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</i>, 125-126) Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat keempat</b>: tidak diberi wewangian atau parfum. Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah<i> shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” </i>(HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini <i>shohih</i>). Lihatlah ancaman yang keras ini! <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat kelima</b>: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim. Dari Ibnu Abbas <i>radhiyallahu ‘anhu</i> berkata,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">لَعَنَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” </i>(HR. Bukhari no. 6834)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan lagi, mana yang pria dan wanita dikarenakan mengenakan celana panjang. Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><i>”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” </i>(HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam <i>Iqtidho’</i> mengatakan bahwa sanad hadits ini <i>jayid</i>/bagus) Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias menggandrungi mode-mode busana barat baik melalui majalah, televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan bintang film. <i>Laa haula walaa quwwata illa billah.</i> <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat keenam</b>: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau popularitas (baca: pakaian syuhroh). Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah <i>shallallahu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِى الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” </i>(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini <i>hasan</i>)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah pakaian yang paling mewah atau pakaian yang paling <i>kere</i> atau <i>kumuh</i> sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula maksud pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri tersebut dan tidak digunakan di zaman itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat ketujuh</b>: pakaian tersebut terbebas dari salib. Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah, dia berkata,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">كُنَّا نَطُوفُ بِالْبَيْتِ مَعَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فَرَأَتْ عَلَى امْرَأَةٍ بُرْداً فِيهِ تَصْلِيبٌ فَقَالَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ اطْرَحِيهِ اطْرَحِيهِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَحْوَ هَذَا قَضَبَهُ</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Ummul Mukminin (Aisyah), lalu beliau melihat wanita yang mengenakan burdah yang terdapat salib. Ummul Mukminin lantas mengatakan, “<i>Lepaskanlah salib tersebut. Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat semacam itu, beliau menghilangkannya</i>.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini <i>hasan</i>) Ibnu Muflih dalam <i>Al Adabusy Syar’iyyah</i> mengatakan, “Salib di pakaian dan lainnya adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.” <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat kedelapan</b>: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan). Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk dalam larangan bertabaruj sebagaimana yang disebutkan dalam syarat kedua di atas. Ada pula dalil lain yang mendukung hal ini. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku, lalu di sana ada kain yang tertutup gambar (makhluk bernyawa yang memiliki ruh, pen). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung merubah warnanya dan menyobeknya. Setelah itu beliau bersabda,</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الذِّيْنَ يُشَبِّهُوْنَ ِبخَلْقِ اللهِ</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">”<i>Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah yang menyerupakan ciptaan Allah</i>.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An Nasa’i dan Ahmad) <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat kesembilan</b>: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat kesepuluh</b>: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan. <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat kesebelas</b>: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan . <b> </b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>Syarat keduabelas</b>: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu bid’ah. Seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat jilbab. Jika pembaca ingin melihat penjelasan selengkapnya, silakan lihat kitab <i>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</i> yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab Wanita Muslimah’. Juga bisa dilengkapi lagi dengan kitab <i>Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah</i> yang ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang melengkapi pembahasan Syaikh Al Albani.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk memperingatkan istri, anggota keluarga atau saudaranya mengeanai masalah pakaian ini. Sungguh kita selaku kaum pria sering lalai dari hal ini. Semoga ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;">يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">“<i>Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.</i>” (QS. At Tahrim: 6)</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya. <i> </i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><i>Alhamdullillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.</i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><b>SUMBER: RENUNGAN dan KISAH-KISAH INSPIRATIF</b></div>Dedek Ceriahttp://www.blogger.com/profile/05575942228949687138noreply@blogger.com2