A. PERJANJIAN
- A. 1. Pengertian Perjanjian
Definisi ini tidak begitu jelas karena dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Hal ini berarti bukan perbuatan hukum saja yang termasuk ke dalam perjanjian, tetapi diluar perbuatan hukum pun termasuk perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah “ suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”
Di dalam Black’s Law dictinionary, yang diartikan dengan contract is An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu secara sebagian. Inti definisi ini adalah persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.
Menurut Salim H.S., S.H., M.S., perjanjian atau kontark merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum ang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”[1]
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan satu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Dengan demikian hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Sumber-sumber lain ini mencakup denga nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.[2]
Dengan sekian banyak pengertian perjanjian yang telah dipaparkan di atas, ada tiga unsur yang dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Ada orang yang menuntut, atau dalam istilah bisnis biasa di sebut kreditor
2. Ada orang yang dituntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut debitur
3. Ada sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi.
Prestasi umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu: (a) berbuat sesuatu; (b) tidak berbuat sesuatu; (c) menyerahkan sesuatu.
Pihak yang tidak melakukan prestasi disebut bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini dapat terjadi dalam hal :
1. Tidak berbuat sesuatu yang diperjanjikan
2. Tidak menyerahkan sesuatu yang telah diperjanjikan
3. Berbuat sesuatu atau menyerahkan sesuatu tetapi terlambat atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian seharusnya tidak dilakukan.
Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian yang sah harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikat diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang.[3]
A. 2. Asas-Asas Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian terdapat sepuluh asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, asas kepribadian, perjanjian batal demi hukum, keadaan memaksa (overmacht), asas canseling, asas obligatoir, asas zakwaarneming. Kesepuluh asas itu akan dijelaskan berikut ini.
- 1. Asas Kebebasan Berkontrak
- 2. Asas Konsensualisme
- 3. Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Kepastian Hukum)[4]
- 4. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. [6]
Arrest H. R. Di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.[7]
- 5. Asas Kepribadian
- 6. Perjanjian Batal demi Hukum
- 7. Keadaan memaksa (Overmacht)
- 8. Asas Canseling
- 9. Asas Obligatoir
10. Asas Zakwaarnemig
Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus mengurusnya sampai selesai.[9]
A. 3. Unsur-unsur Perjanjian
Dalam suatu kontrak dikenal tiga unsur, yaitu sebagai berikut.
- Unsur Esensiali
- Unsur Naturalia
- Unsur Aksidentalia
A. 4. Penafsiran Kontrak
Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran, kalimat-kalimat yang ada sudah seharusnya menjelaskan klausula yang ada. Karena itu jika semuanya sudah jelas tidak memerlukan penafsiran, bahkan tidak boleh jika penafsiran tersebut akan mempunya arti menyimpang dari yang tersirat tersebut. Dalam ilmu hukum kontrak disebut “Doktrin Kejelasan Makna” (plain meaning rules), doktrin ini iakui sepenuhnya oleh KUHPerdata lewat pasal 1342, yang menyatakan bahwa:
Jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas, maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Namun demikian kontrak itu bermacam-macam ragamnya maka sangat mungkin akhirnya dibutuhkan kejelasan-kejelasan lebih lanjut. Disamping itu, karena kontrak merupakan ungkapan hati dari para pihak dengan menggunakan kata-kata yang pada prinsipnya terbatas, sehingga biasanya hampir tidak ada kontrak yang tidak memerlukan penafsiran.
Ada beberapa prinsip hukum kontrak yang sangat mendukung eksistensi suatu kontrak baku, yaitu prinsip-prinsip hukum sebagai berikut:
- Prinsip kesepakatan
- Prinsip Asumsi Resiko
- Prinsip Kewajiban membaca
- Prinsip Kontrak mengikuti kebiasaan
B. AKAD
B. 1. Pengertian Akad
Lafal akad, berasal dari lafal arab al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan al-ittifaq. Secara terminology fiqh, akad didefinisikan dengan: pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek ikatan.
Menurut az-Zarqa’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau bebrapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati.oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab dan qabul.[12]
Selain itu, terdapat juga pakar yang mendefinisikan akad sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.[13] Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya.[14]
Dari bebrapa pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa kontrak merupakan kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih melaluai ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut.
Dalam sejarah dari hukum Islam, salah satu Prinsip dasar dari suatu transaksi adalah bahwa suatu transaksi haruslah dilakukan secara benar dan tidak saling merugikan orang lain. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat an Nisa ayat 29
$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù’s? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.Bertransaksi secara benar mempunyai tujuan agar hakikat dari harta yang dimiliki oleh manusia tersebut tetap terjaga dengan baik, sesuai dengan firman Allah dalam surart al Baqarah ayat 267
$yg•ƒr’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ .
Hai orang orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian usahamu yang baik baik.[15]Dalam system hukum Islam, kedudukan kata sepakat terhadap suatu kontrak sangat dijunjung tinggi, yang berarti prinsip pacta sunt servanda (janji itu mengikat) sangat dihormati dalam hukum syarak. Sesuai dengan firman Allah dalam QS al Maidah: 1
$yg•ƒr’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/
Hai orang orang yang beriman penuhilah akad akad ituTujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui perbuatan akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad” (hukm al-‘aqd).
Tercapainya tujuan akad tercermin pada terciptanya akibat hukum. Bila maksud para pihak dalam akad jual beli adalah untuk melakukan pemindahan milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli dengan imbalan yang diberikan oleh pembeli, maka terjadinya pemindahan milik tersebut merupakan akibat hukum akad jual beli.
Hukum akad dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) hukum pokok akad (al-hukm al-ashli li al’aqd); (2) hukum tambahan akad ( al-hukm al-tab’I li al-‘aqd). Hukum pokok akad adalah akibat hukum pokok yang timbul dari penutupan akad. Sedangkan akibat hukum tambahan akad bisa disebut juga dengan hak dan kewajiban yang timbul karena suatu akad. Akibat hukum tambahan akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu akibat hukum yang ditentukan oleh syariah dan akibat hukum yang ditentukan oleh para pihak sendiri.[16]
B. 2. Rukun Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun. Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:
- Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidan)
- Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-‘aqd)
- Objek akad (mahallul-‘aqd)
- Tujuan akad (maudhu’ al-‘aqd).
Menurut Jumhur Ulama, rukun akad adalah sebagai berikut:
1) Adanya Ijab Qabul
2) Adanya para pihak
3) Adanya objek akad
B. 3. Syarat Akad
Para ulama Fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Disamping itu, setiap akad juga mememiliki syarat-syarat khusus. Adapaunn syarat-syarat umum suatu akad itu adalah:[17]
- Ijab dan qabul haruslah dilakukan oleh orang-orang yang mewakili kecakapan berbuat. Dalam hal ini orang tersebut waras, cukup umur (mancapai umur tamyiz) dan tidak boros.
- Ijab qabul harus tertuju kepada objek tertentu.
- Ijab qabul harus dilakukan oleh kedua belah pihak dalam kontrak atau jika salah pihak tidak hadir, maka dapat ditujukan kepada pihak ketiga, dimana pihak ketiga menyampaikannya kepada pihak yang tidak hadir, dan pihak yang tidak hadir menyatakan qabulnya.
- Akad tidak dilarang oleh nas syarak
- Memenuhi syarat-syarat khusus bagi akad tertentu.
- Akad itu bermanfaat.
- Ijab harus tetap shahih sampai saat dilakukan Kabul. Artinya tidak sah akad jika sebelum kabul dilakukan telah terjadi pembatalan ijab, atau pelaku ijab telah gila atau meninggal dunia.
- Ijab kabul dilakukan dalam satu majelis, yakni dengan tetap muka atau Kabul tunda. Akan tetapi, menurut mazhab syafi’i Kabul harus segera diucapkan setelah akad dan tidak boleh ditunda-tunda.
- Tujuan akad harus jelas dan diakui oleh syarak. Misalnya, akad nikah bertujuan antara lain untuk menghalalkan hubungan suami istri . karena itu akad semu dilarang.
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[18] Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.[19] Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.[20] Dari definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum kontrak syari’ah.
Dalam hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tersebut diklasifikasikan menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus. Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum adalah:
- Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
- Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.[22]
Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.[23]
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
- Asas Keadilan (al-‘adalah)
- Asas Persamaan atau Kesetaraan
- Asas Kejujuran dan Kebenaran (ash-shidiq)
- Asas Tertulis al-Kitabah
- Asas Iktikad Baik (Asas Kepercayaan)
- Asas Kemaslahatan dan Kemanfaatan
Sedangkan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan bersifat khusus adalah:
- Asas Konsensualisme atau Asas Kerelaan (Mabda’ ar-Rada’iyyah)
Selain itu asas ini dapat pula di lihat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, yang merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
- Asas Kebebasan Berkontrak (Mabda’ Hurriyah at-ta’aqud)
- Asas Perjanjian Itu Mengikat
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian.[31] Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
- Asas Keseimbangan
- Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, ”Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.[34]
- Asas Kepribadian (Personalitas)
B.5. Empat Prisip Penting Hukum Kontrak Islam dalam Praktek Keuangan Moderen
- 1. Sifat tak mengikat dari sebagian besar kontrak dasar
Semua usulan kontrak bisa jaiz yang berarti tidak mengikat atau dapat dibatalkan sewaktu waktu, ataupun lazim yang berarti mengikat atau tidak dapat dibatalkan. Sebuah kontrak jaiz bisa pada salah satu pihak ataupun kedua belah pihak.
Kontrak yang jaiz bagi kedua belah pihak meliputi persekutuan (semua bentuk), perwakilan, deposit, pinjaman (‘ariyah), dan hadiah. Kontrak lainnya yang jaiz bagi kedua belah pihak sampai penyerahan (barang) meliputi hibah, pinjaman qard, dan gadai. Kontrak lainnya dapat diakhiri oleh salah satu Pihak seperti gadai oleh penerima gadai (setelah penyerahan), atau jaminan oleh orang yang berhutang. Kontrak lazim meliputi jual beli, sewa, perdamaian, pemindahan hutang dan pembatalan.[36]
- 2. Skema ganda untuk menentukan resiko kerugian
Hukum Islam menetapkan hubungan yang menyangkut tanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan objek tertentu yang terdapat dalam kontrak dengan pihak pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Hukum Islam hanya memPertimbangkan dua kemungkinan hubungan seperti itu, yaitu pihak yang memegang obyek tersebut dapat sebagai orang yang terpercaya atau wakil (amin), atau sebagai penjamin (damin). Orang yang terpercaya tidak bertanggung jawab sama sekali atas cacat pada objek, kecuali kalau melanggar kepercayaan. Sebaliknya damin atau penjamin menanggung resiko kehilangan yang sama dengan pemilik. Jika objek musnah karena takdir Allah atau force majeure (kejadian di luar kemauan dan kemampuan manusia).[37]
- 3. Larangan jual beli hutang dengan hutang
Ada banyak batasan yang diterapkan pada jual beli ini, yang disimpulkan dari dalil yang melarang jual beli “al kali bi al kali”, secara harfiah berarti tukar menukar dua hal yang keduanya ditangguhkan, atau tukar menukar nilai imbangan yang ditangguhkan (nasi’ah) dengan nilai imbangan yang ditangguhkan lainnya.
Aturan yang pertama melarang tukar menukar jika kontrak menetapkan syarat penangguhan, bukan hanya penyerahan kepemilikan tetapi juga pembayaran atau penyrahan riil kedua nilai imbangan, misalnya gandum yang dihutang denga uang yang dihutang.
Aturan yang kedua melarang menukar harta abstrak dengan harta abstrak. Aturan ini berlaku bahkan jika salah satu atau kedua dayn dibayarkan dengan kontan. Dengan demikian aturan ini melarang jual beli dayn baik yang dibayar kontan atau dihutang.
- 4. Sifat Perjanjian yang tidak mengikat
Inilah pendapat hukum klasik yang menyatakan bahwa semata mata janji tidaklah mengikat. Kewajiban justru berasal dari pengiriman yang telah lalu ataupun perusakan harta, yang secara otomatis menghasilkan kewajiban timbal balik , baik langsung maupun ditangguhkan atau dari sumpah. Ketika janji semata mata janji bukan sumpah dihadapan Allah dan bukan bukan pula janji timbal balik atas barang barang maka hukum klasik melihatnya sebagai tidak memiliki signifikasi hukum, yang tidak diperkuat secara memadai dengan proses hukum.
Pada perbankan dan keuanan moderen, banyak hal bergantung pada janji. Banyak transaksi mengikat kedua belah pihak hanya pada waktu yang akan dating, dan praktis setiap transaksi sepenuhnya dapat dimulai dalam bentuk yang dapat mengikat melalui janji. Banyak bunga uang yang sebagian atau seluruhnya semata mata berupa janji. Sedangkan menurut hukum Islam, hampir semua kontrak menjadi mengikat hanya setelah salah satu pihak telah memenuhi janjinya, yang berarti bahwa landasan untuk melaksanakan kontrak atau mengganti kerusakan tidak hanya bersandar pada konsep janji tetapi juga bersandar pada landasan kuat berupa peningkatan kekayaan dan kepercayaan yang tidak adil.[38]
C. Persamaan Antara Perjanjian Eropa Kontinental dan Akad
Secara umum terlihat banyak kesamaan tentang hukum perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut (seperti pada uraian diatas).
Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digumnakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.
D. Perbedaan Antara Perjanjian Eropa Kontinental dan Akad
Secara garis besar perbedaan yang sangat relevan dan signifikan tentang perjanjian antara kedua sistem hukum tersebut adalah :
§ Perjanjian menurut hukum Islam sah bila tidak bertentangan dengan syariat sedangkan menurut hukum eropa kontinental perjanjian sah bila tidak bertentangan dengan UU.
§ Subjek perjanjian menurut hukum Islam adalah mukalaf yang ahli (baik laki-laki atau perempuan) dan tidak dalam pengampuan sedangkan dalam hukum eropa kontinental selain disyaratkan dewasa dan dan tidak dalam pengampuan, wanita yang menjadi istri tidak mempunyai hak untuk mengikatkan diri tanpa adanya izin dari suami (pasal ini tidak berlaku di RI dengan SE MA no. 1 tahun 1963).
§ Dalam Islam secara tegas dinyatakan perjanjian tidak boleh mengandung riba, ghoror dan maisyir. Dalam hukum eropa kontinental ini tidak diatur dengan rinci.
E. Analisis Perjanjian Eropa Kontinental dan Akad
Secara umum hukum perjanjian dalam kedua sistem hukum tersebut memiliki banyak kesamaan Keduanya mengatur tentang unsur-unsur perjanjian, syarat-syarat perjanjian, kebebasan membuat perjanjian dan berakhirnya suatu perjanjian. Walaupun terdapat perbedaan dalam rinciannya yang disebabkan filosofi hukum, istilah yang digunakan, sumber hukum dan proses pencarian kedua hukum tersebut.
Hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sedangkan hukum eropa kontinental bersumber dari Statue Law (hukum tertulis) yang sangat dipengaruhi pandangan hidup manusia pembuatnya yang sangat subjektif.
Walaupun ciri khas hukum eropa kontinental produk-produk hukumnya terkodifikasi dalam suatu hukum tertulis (UU) tapi khusus untuk perjanjian UU hanya sebagai pelengkap dari perjanjian, atau berlaku agium Lex specialis derogate lex generalis dimana lex spesialis adalah isi perjanjian tersebut dan lex generalis UU. Berlaku pula asas pacta sunt servanda, bahwa perjanjian berlaku laksana UU bagi mereka yang membuat. Hal ini serupa dengan sifat kebebasan menentukan syarat dalam akad pada hukum Islam, bahwa setiap orang yang melakukan akad bebas untuk mengemukakan dan menentukan syarat, selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan pula dengan hakikat akad, pihak-pihak yang berakad bebas mengemukakan persyaratan dalam suatu akad selama syarat-syarat itu bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Kemaslahatan yang ingin dicapai hukum eropa kontinental adalah melindungi kesusilaan dan kepentingan umum sedang hukum Islam juga berusaha mewujudkan hal tersebut yang dikenal dalam Maqasidul Syariah (melindungi agama, jiwa, akal, kehormatam dan harta), karena aspek melindungi agama ini menurut hemat penulis hukum Islam berbeda dengan hukum lainnya termasuk juga dalam hukum perjanjian, makanya dalam perikatan Islam tidak boleh mengandung riba, maisyir dan ghoror yang dilarang dalam syariat.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Daud, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. cetakan ke-8, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000.
al-Shiddieqiyy, Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah. Jakarta, Bulan Bintang, 1974.
Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah (Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat). Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Anwar, Syamsul, Makalah Kontrak dalam Islam. 2006.
Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis (Prinsip Pelaksanaannya di Indonesia). Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Jakarta. Balai Pustaka, 2002.
Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia. cetakan ke-2 Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006.
Djamil, Faturrahman, “Hukum Perjanjian Syari’ah”. cet. 1, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.
Fuady, Munir, HUKUM KONTRAK (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
H.S. Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta, Sinar Grafika, 2006.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak &Perancangan Kontrak. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah. cet. 1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.
Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta, Intemasa, 2001.
Sula, Syakir, Muhammad, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional. Cet. 1, Jakarta, Gema Insani Press, 2004.
Vogel, E. Frank, Hukum Keuangan Islam (Konsep, Teori, dan Praktik), Bandung, Nusamedia, 2007
[1] Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Jakarta : Sinar Grafika, 2006 cet keempat, hal 25-27 [2] Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intemasa, 2001, hal 1
[3] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis (Prinsip Pelaksanaannya di Indonesia), Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2008, hal 24-25
[4] Ibid, hal 28-29
[5] Munir Fuady, HUKUM KONTRAK Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, hal 50
[6] Salim, op cit., hal 10-11
[7] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak &Perancangan Kontrak, Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2007, hal 5
[8] Salim op cit., hal 12-13
[9] Zaeni Asyhadie, op cit., hal 29-30
[10] Ahmadi Miru, op cit., hal 31-32
[11] Fuady, Munir, HUKUM KONTRAK (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,), hal 50
[12] Ibid, hal 25
[13] Hasbi al-Shiddieqiyy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal 34
[14] Syamsul Anwar, Makalah Kontrak dalam Islam, 2006, hal 7
[15] Munir Fuady, op.cit., hal 25
[16] Syamsul anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat) , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hal 69-71
[17] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalat, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hal 101
[18] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hal 70
[19] Ibid, hal 896
[20] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 50-52
[21] Muhammad Syakir Aula, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, hal 723-727
[22] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, hal 12
[23] Ibid, hal 59
[24] Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2 Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hal 33
[25] Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: CV. Rajawali, 1990, hal 124
[26] Gemala Dewi, op cit., hal 37-38
[27] Mohammad Daud Ali, op cit., hal 123
[28] Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syari’ah”, cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hal 250
[29] Ibid
[30] Faturrahman djamil, op cit., hal 249
[31] Syamsul Anwar,op cit., hal 12
[32] Syamsul Aanwar, op cit, hal 90
[33] Mohammad Daud Ali, op cit., hal 115
[34] Salim, op cit., hal 10
[35] Ibid, hal 13-14
[36] Frank E. Vogel, Hukum Keuangan Islam (Konsep, teori, dan praktik), Bandung: Nusa Media, 2007, hal. 137
[37] Ibid, hal. 138
[38] Ibid, hal. 140-141
Sumber : http://audrytimisela.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar