Minggu, 03 Oktober 2010

Ancaman Bagi Orang Orang Yang Meninggalkan Shalat

H.M. Nasir, Lc., MA
Allah swt berfirman : Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59)
Ayat di atas mengimpormasikan kepada kita tentang generasi yang ditinggalkan oleh Nabi-nabi terdahulu yang hanya berbangga dengan leluhur mereka, karena nenek moyang mereka banyak menjadi hamba-hamba pilihan Allah swt, diantara mereka ada yang menjadi rasul dan nabi dan banyak pula menjadi para wali dan ‘abid (ahli ibadah). Kemuliaan yang telah diraih oleh leluhur mereka menjadi kebanggaan tersendiri bagi generasi setelah mereka, tapi sayang mereka tidak memahami substansi apa yang menjadi faktor leluhur mereka.
Generasi tersebut tidak cukup hanya berbangga dengan keharuman nama leluhur mereka, akan tetapi mereka melupakan dan meninggalkan pilar yang paling penting dalam agama “Islam” yang diperjuangkan oleh pendahulu mereka, yaitu menegakkan shalat, dan pada gilirannya tidak ada lagi benteng jiwa mereka untuk menahan diri dari perbuatan keji dan mungkar dan mereka terjerumus kepada “generasi syahwat” yang memperturutkan hawa nafsu belaka.
Ayat di atas sebenarnya menceritakan umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw, akan tetapi dari sisi keumumannya berlaku kepada umat setelah Nabi Muhammad saw hingga kini, karena keumuman lafaz Alquran diutamakan dalam mengambil suatu hukum dari kekhususan sebab kejadian yang berlaku, dalam kaedah Ushul Fikih dikenal ungkapan al ibrata bi umumil lafzi la bikhususis sabab/ ungkapan di dalam Alquran dipandang dari sisi keumumannya bukan dari sisi sebab yang khusus.
Hal demikian itu diperkuat oleh peringatan Nabi Muhammad saw kepada umatnya ketika menjelang akhir hayatnya agar umatnya benar-benar memperhatikan masalah shalat dan masalah perempuan, karena orang-orang yang meninggalkan shalat sangat riskan terhadap godaan syahwat karena tidak ada prisai yang menghalanginya untuk berbuat kejahatan. Maha Benar Allah swt dalam firman-Nya : Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (QS. Al-‘AnkabĂ»t : 45)
Dengan robohnya pertahanan jiwa, maka secara leluasa bisikan setan dengan mudah masuk untuk berbisik kepada nafsu agar senantiasa patuh dengan perintah nafsunya dan pada gilirannya nafsu akan mengendalikan jiwa yang lemah tersebut, dan biasanya jika nafsu telah memegang kendali akan menjadi “bola” setan ditendang ke sana ke mari, dan segala pintu kemaksiatan akan terbuka lebar bagi pelakunya. Barangkali itulah yang dimaksud kesesatan di penghujung ayat di atas.
Dengan demikian hubungan sebab akibat antara meninggalkan shalat dan mengikuti syahwat sendiri jelas, dimana seseorang yang meninggalkan shalat tidak ada jaminan untuk terlepas dari perbudakan hawa nafsu, karena di dalam filosofis, shalat pengendali hawa nafsu benar direalisasikan, mulai dari pengendalian gerak-gerik fisik, pikiran, jiwa, sampai kepada ucapan, bahkan makan dan minum yang halalpun menjadi haram ketika melaksanakan ibadah shalat.
Oleh sebab itu ancaman Allah swt cukup berat bagi orang-orang yang meninggalkan shalat, diantara ancaman fisik dan moral bagi orang yang meninggalkan shalat, seperti yang difatwakan oleh Prof. Dr. Yusuf Qaradawi di fatwa kontemporernya adalah “Tidak berhak menyandang sebutan muslim dan tidak boleh berlindung dibawa panjinya” karena sudah dianggap merusak amalan seorang muslim yang substansial. Fatwa tersebut dilandasi oleh hadis Nabi saw : Perbedaan antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan shalat. (HR. Muslim, Abu Daud, Turmuzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadis yang sama menguatkan fatwa ulama Timur Tengah tersebut adalah sabda Nabi saw : Perjanjian yang menjadi pembeda antara kita dengan mereka (orang kafir) ialah shalat, maka siapa-siapa yang meninggalkannya berarti ia benar-benar kafir. (HR. Ahmad dan Ashabussuman)
Sebagian ulama memberi fatwa memperhatikan sebab seseorang meninggalkan shalat, jika seseorang meninggalkan shalat beranggapan bahwa shalat itu tidak wajib, atau mentertawakan orang-orang yang mengerjakan shalat, maka orang ini dihukum kafir dengan ijma’ kaum muslimin. Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sebab malas, atau sibuk dengan urusan duniawi, atau tidak mampu menahan godaan hawa nafsu, maka para ulama berbeda pendapat terhadap hukuman orang semacam ini. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang seperti ini dihukumkan fasik, dan wajib diberi pelajaran dijatuhi hukuman ta’zir, atau dipenjarakan, bila perlu dijatuhkan hukuman fisik, dipukul sampai dia melaksanakan shalat.
Imam Malik dan Imam Syafii sebagaimana yang dikutip oleh DR. Yusuf Qaradawi : Hukumannya tidak cukup dengan didera dan dipenjara saja, akan tetapi jika ia terus menerus meninggalkan shalat dan disuruh bertaubat tetap bersikeras untuk tidak mengerjakan shalat maka orang tersebut sudah halal untuk dibunuh.
Pendapat yang sama dianut oleh mazhab Imam Ahmad, akan tetapi mazhab ini menghukum orang tersebut tidak sekedar fasik lebih dari itu orang tersebut dihukum kafir. Demikian fatwa DR. Yusuf Qaradawi di dalam kitab Fatwa Kontemporernya (1996).
Menurut hemat penulis, kondisi saat ini sangat berbeda dengan kondisi saat fatwa itu dikeluarkan oleh para Imam Mazhab. Diduga kuat pada ketika itu tidak seperti kondisi umat Islam saat sekarang ini, dimana jumlah umat Islam meninggalkan shalat tidak terhitung jumlahnya sehingga kondisi saat ini sudah layak disebut dengan kondisi umumul balwa (bala itu sudah merata menimpa umat Islam. Oleh sebab itu dengan tidak bermaksud untuk menggugat fatwa-fatwa Imam Mazhab terdahulu, dipandang perlu sosialisasi tentang besarnya dosa dan azab di dunia ini bagi mereka yang meninggalkan shalat. Kemudian perlu ada lembaga amar ma’ruf nahi munkar yang bermitra dengan penguasa negeri ini, sehingga melahirkan sadar hukum, khususnya tentang hukuman orang-orang yang meninggalkan shalat dan pada gilirannya hukuman yang berat bagi orang yang meninggalkan shalat seperti yang difatwakan oleh para ulama dan Imam Mazhab di atas, benar-benar mengenai sasarannya.
Dengan kata lain, fatwa tersebut bagi orang yang meninggalkan shalat diketahui dan disadari betul oleh mereka, karena menghukum kafir, fasik, bagi orang yang tidak menyadari bahwa dia seorang yang fasik dan kafir atau keluar dari agama Islam, sedangkan dia tidak menyadarinya atau dia masih beranggapan bahwa seorang muslim, berbeda dengan orang yang keluar dari Islam secara sadar (murtad), dan pada gilirannya menimbulkan kosekuensi hukum yang berbeda pula. Wallahua’lam
Penulis :
- Pimp. Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batu Bara
- Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan
- Ketua Majelis Zikir Ulul Albab Sumut
- Direktur PT. GADIKA EXPRESSINDO UMROH & HAJI PLUS Cabang Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar