Minggu, 03 Oktober 2010

Sikap Jiwa Pasca Ramadhan

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah’ , kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka. Hendaknya kalian tidak takut dan gelisah, dan hendaklah kalian bergembira dengan surga yang telah dijanjikan untuk kamu sekalian.” Q. s. Fush-shilat . a. 30.

Bersamaan dengan turunnya nabi Adam as ke bumi, turun pula nikmat dan azab, rezeki dan musibah bagi manusia. Dan semua itu merupakan ujian bagi kehidupan. Iman yang ada di dalam dada senantiasa diuji ketahanannya. Dengan ujian itu diseleksi dan disaring, siapa diantara manusia yang benar-benar beriman, dan siapa pula diantaranya yang cuma lip service atau ngomong doang.
Cobaan atau ujian yang datang kepada manusia kadang-kadang ada yang ringan, kadang-kadang –kadang ada yang berat. Kadang kala cobaan tersebut datang secara kasat mata, dan pada kesempatan lain ia datang dengan cara yang amat halus.
Dan semua cobaan tersebut menuju pada satu sasaran, yaitu ‘iman’. Jika seseorang yang mendapat ujian tetap berada pada posisi imannya, artinya ia tidak goyah terhadap apa saja yang menguji keimanannya, maka dia dikatakan orang yang istiqomah.
Firman Allah, “ Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, ‘kami beriman’, tanpa adanya ujian ? Sesungguhnya telah kami uji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar-benar beriman, dan Allah juga mengetahui orang-orang yang berdusta.” Q.surah 29 al Ankabut ayat 2.
Pada garis besarnya, ujian yang dihadapi setiap manusia melalui dua jalur; pertama, melalui jalur internal (pada diri manusia itu sendiri), yaitu berupa bisikan-bisikan hawa dan syahwat (hasrat dan keinginan) yang diprovokasi setan yang masuk kedalamnya.
Dan jika kemudian hawa (hasrat) yang lebih dominan dan menjadi kendali kehidupan, maka sifat yang ditimbulkannya ia akan berprilaku seperti hewan, bahkan lebih sesat lagi, seperti yang disebut al Qur’an pada surah al Furqan ayat 43-44, “ Terangkanlah kepadaku tentang orang-orang yang mempertuhankan hawanya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemeliharanya ?, atau apakah kamu mengira kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu tidak lain seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi jalannya.”
Sebagai ilustrasi, untuk menyegarkan pemahaman kita tentang ayat al Qur’an di atas, coba kita amati seekor kerbau, betapapun bodohnya, ia tetap mengenal lawan jenisnya, sehingga tidak pernah melakukan hubungan seksual jantan dengan jantan atau betina dengan betina.
Sama halnya dengan harimau, betapapun buas dan liarnya, ia tetap menghargai dan memelihara janin yang dikandungnya. Kita tidak pernah mendengar, kalau ada seekor harimau betina menggugurkan kandungannya disebuah kebun binatang, meskipun saat melahirkan tidak ada makhluk yang menolongnya.
Seekor anjing pemburu, begitu setia pada majikannya, sehingga dalam melakukan tugas perburuan dengan baik dan menyerahkan hasil buruannya kepada majikannya. Anjing itu tidak pernah memakan bagian yang bukan haknya, betapapun binatang buruan yang ditangkapnya menggiurkannya.
Ternyata, ketiga hewan ilustrasi di atas memiliki sifat hewaniah . Akan tetapi, manusia yang apabila telah dipandu oleh hawa dan syahwatnya, maka ia tidak lagi manusiawi, tetapi lebih sesat dari hewan-hewan itu, “ … in hum kal an’am bal hum adhallu sabila ”. Al Furqan 44.
Kedua, ujian datang dari jalur external, yaitu melalui istri (atau suami), anak, harta, pangkat dan jabatan. Tidak sedikit seorang ayah, akhirnya masuk penjara karena cinta terhadap anak atau istri, karena menuntut lebih dari glamour dunia, dan cinta harta secara berlebihan sehingga sang ayah melakukan korupsi, kolusi dan penyalah gunaan wewenang/jabatan.
Seorang ayah yang telah menjadikan hasrat dan keinginannya sebagai ‘ilah’, bukan saja tidak melaksanakan tugas dengan baik seperti anjing pemburu, bahkan ia berani memakan harta negara (korupsi) dan menggunakannya untuk kepentingan foya-foya keluarga (anak dan istrinya), kerabat dan sahabat-sahabat nya.
Tingkat korupsi yang dilakukan akan semakin besar sejalan dengan tingginya posisi atau jabatan yang dimiliki serta kemampuan menyusun anggaran secara ilmiah baik project feasibility nya maupun laporan pertanggungan jawab nya.
Al Qur’an berkali-kali mengingatkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu waspada terhadap istri (suami), anak dan harta yang dapat melalaikan kita dari mengingat Allah (hukum-hukum Nya dan beribah kepada Nya), “ Wahai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu, dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi Q.s.63.a. 9 dan s.64.a.14 “ Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…”. Dan orang yang mencintai anak, istri, dan harta nya melebihi cintanya kepada Allah dan Rasul Nya, mereka adalah orang yang fasiq, “ Q.s. 9 at Taubah ayat 24
Itulah sebabnya Allah memberikan suatu pengajaran dan pendidikan melalui bulan Ramadhan, agar setiap diri manusia mampu menahan, dan mengendalikan hasrat dan keinginannnya dari makan dan minum serta libido serta hasrat dan keinginan lainnya dari terbit fajar (subuh) sampai terbenamnya matahari (maghrib), sehingga pada Syawal sampai seterusnya hingga ia meninggalkan dunia ini, hawa dan syahwatnya tidak lagi bergejolak dan liar.
Hawa dan syahwat harus ditempatkan pada posisinya, agar berfungsi sebagai mesin generator yang menggerakkan dan memberikan makna hidup bagi manusia dan mendorongnya kepada kemajuan positif, sebagai khalifah fil ardh. Bukan sebagai raja yang menentukan aktifitas manusia. Hawa dan syahwat harus dikontrol oleh akal sehat dan iman.
Karenanya puasa dan pelaksanaan ibadah qiam pada malamnya dapat dipandang sebagai proses pelatihan/training pemurnian tauhid dan mendudukkan fungsi manusia sebagai manusia sesungguhnya. Dan itulah kemenangan yang besar dari puasa, yaitu terciptanya jiwa yang tenang, yang terkendali, yang mengagungkan dan mensucikan asma Allah pada satu syawal dan seterusnya dalam perjalanan hidupnya.
Dan untuk merekalah Allah menyeru masuk ke dalam surga Nya dengan panggilan, “ Ya aiyatuhan nafsul mthmainnah, irji’i ila rabbikiradhiayatam mardhiyah, fadkhuli fi ‘ibadi, wadkhuli jannati ”/ Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai Nya. Maka masuklah kedalam kumpulam hamba-hamba Ku, dan masuklah kedalam surga Ku.
Refleksi dari jiwa yang tenang dapat terlihat dari sikapnya yang senantiasa mensyukuri karunia/nikmat Allah sekecil apapun nikmat itu lalu mengelola, memanfaatkan nya sedemikian rupa untuk menggapai ridha Allah. Ridha dengan apapun keputusan Allah, menerima apa saja yang direzkikan Allah untuknya. Orang yang jiwanya tenang dapat terlihat dari sifatnya yang jauh dari sikap sombong, sum’ah (bangga dengan mengatakan apa yang dilakukannya kepada orang lain) dan riya (menunjukkan perbuatan kepada orang lain), ketika ia memiliki harta yang banyak atau kedudukan, jabatan, pangkat yang terhormat.
Jiwa yang tenang tidak mengalami inferiority complex atau merasa rendah diri ketika ia berada pada posisi di bawah atau ketiadaan harta. Baginya sama saja, kaya atau miskin, punya jabatan ataupun tidak.
Orang yang jiwanya tenang, menyadari sepenuhnya bahwa harta dan jabatan adalah amanah yang nanti pasti dipertanggung jawabkannya di hadapan Allah. Seseorang yang jiwanya tenang dari hasil pendidikan Ramadhan, jika ia menduduki jabatan, apalagi jabatan hasil pilihan rakyat, maka ia tunaikan tugasnya dan mendorong bawahannya untuk meningkatkan kualitas ‘ibadah dan kerjanya. Bukan malah melupakan janjinya menjadi, ‘janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi’.
Ia tidak akan beralasan dengan sejuta permainan kata manis, kalau sekarang masih begini, dan begitu. Pemimpin yang jiwanya tenang, hasil wisuda Ramadhan, akan membuktikan ucapannya dengan bersegera mengorbankan apa saja yang ia miliki, jiwa dan hartanya untuk rakyat yang memilihnya dan yang tidak memilihnya, bersungguh-sungguh menjalankan roda pemerintahan sehingga menggapai apa yang difirmankan Allah, ‘baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur’. Bukan bekerja untuk mengembalikan uang yang sudah sedemikian besar saat pemilihan menjadi kepala daerah.

Betapa nikmatnya hidup dalam suasana dimana masyarakatnya memiliki jiwa yang tenang pasca Ramadhan. Umat (pemimpin dan rakyat) yang terbina jiwanya dengan sikap tauhid yang disatukan dan diikat oleh tali Allah, jauh dari hiruk pikuk kecurangan, keserakahan dan kemunafikan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar